asd
16.7 C
New York

Tukar Umur

Published:

Tanjungbalai, 5 Juni 2021

Sekonyong-konyong Badri menghilang tak nampak wujudnya. Mungkin entah sudah tertiup angin selatan, atau bisa pula tenggelam di Sungai Silau. Kawan, tetangga, dan kerabat tak ada yang mencarinya, bahkan orangtuanya pun tak mencarinya. Hal itu dikarenakan orangtua Badri sudah muak melihat tingkah anak itu. Sekolah tak pernah beres, tinggal kelas dua kali, suka cabut, suka main-main dengan anak preman yang tak jelas tujuan hidup, suka membantah dan melawan orangtua. Menurut mereka, sudahlah buat apa budak jahanam itu dicari lagi, menengok mukanya pun sudah bikin stres, apalagi bercakap dengannya membuat darah tinggi naik, kolestrol naik, gula naik, asam urat pun naik. Namun, biar begitu pun tetap ada satu manusia yang masih peduli dan risau si Badri menghilang. Yaitu, neneknya.

Dari Batu 12 sampai Bagan Asahan, nenek mencari Badri. Cari sana sini. Tanya sana sini. Ada yang bilang pernah menengok si Badri sama kawan premannya mengendap mencuri ikan di pelabuhan Teluk Nibung, tapi tak tertangkap. Ada yang bilang pernah menengok si Badri sama kawan premannya minum tuak di Arteri. Ada yang bilang si Badri sudah mengedarkan sabu-sabu sama kawan premannya. Bahkan, ada pula yang bilang, si Badri diajak kawan premannya lari ke Malaysia pakai paspor palsu.  Namun, entah betul entah tidak apa yang dibilang orang-orang itu, nenek tetap saja jantungan dan percaya dengan apa yang dibilang orang. Berdoa dia, supaya sang cucu selalu dilindungi Tuhan dan terhalang dari berbuat yang jahat-jahat.

Ada tiga bulan si Badri raib. Lalu, sekonyong-konyong dia muncul lagi di tanah kelahirannya, tetapi dalam keadaan sekarat. Tak ada yang tahu bagaimana kronologi yang pastinya. Setahu mereka si Badri pulang tengah malam ke rumah nenek sambil mengeluh kesakitan. Sekarang, anak lajang tanggung itu hanya bisa berbaring lemas sambil menahan sakit. Ada yang menduga, si Badri sakit begitu karena kualat dengan sifat-sifat buruknya dahulu. Ada yang menduga-duga pula, mungkin diracun oleh kawan premannya. Namun, si Badri sendiri tidak mengklarifikasi penyebab sakitnya. Terlalu lemas untuk menceritakan itu.

Sementara nenek, resah sampai tak bisa tidur memikirkan sang cucu yang sakit. Orangtuanya pun walau masih makan hati dengan si anak yang kelakuannya macam Abu Lahab tetap merasa iba pada anak mereka yang jatuh sakit. Dibawa berobat ke mana-mana, ke dukun pijat, ke Mantri Udin, tak sembuh-sembuh. Berminggu-minggu bahkan sampai berbulan, tetap tak ada perubahan. Sakit yang diderita Badri bahkan makin parah. Akhirnya, sepakat orangtua Badri untuk membawanya ke dokter spesialis saja, mungkin mahal, tetapi lebih baik begitu daripada sang anak tak sembuh-sembuh. Terlebih lagi, penyakit yang diderita Badri ini tidak diketahui pasti apa jenisnya. Dukun pijat satu berkata, dia kena asam lambung, dukun pijat dua berkata, dia kena sakit perut biasa, sementara Mantri Udin bilang, si Badri kena usus buntu, lebih baik dioperasi, tetapi si Badri menolak untuk dioperasi.

Nenek sebenarnya kurang sepakat untuk membawa si Badri ke dokter spesialis. Muncul dugaan-dugaan buruk dalam hatinya. Bermimpi dia, dokter spesialis itu menyuruh si Badri agar dioperasi saja, karena penyakitnya sudah parah, tetapi pada akhirnya sang cucu meninggal di meja operasi. Dengan alasan demikian, nenek pun menentang keras pengobatan dari dokter spesialis, namun orangtua Badri tetap ingin membawa sang anak ke dokter spesialis.

 “Kenapo awak tak ‘nak dongar cakap orangtuo. Orangtuo bilang jangan, janganlah!”

Sudah mendengar cakap nenek macam begitu, orangtua Badri pun tak dapat berkutik. Akhirnya, didengar merekalah dulu cakap orang yang lebih tua. Menurut nenek, sebaiknya si Badri ini disonggot-kan saja dulu. Sebagaimana tradisi orang Melayu Tanjungbalai, bila ada orang sakit parah tak sembuh-sembuh, menyonggot dapat dilakukan untuk menolak bala dan penyakit.

Sabtu pekan diadakanlah acara itu. Disiapkanlah seperangkat Balai adat. Balai itu terbuat dari kayu, berkaki empat seperti meja dan tingkatnya sampai tiga saja, diisi pulut ketan putih, bendera merawal, dan telur ayam. Keluarga jauh, keluarga dekat datang membawa kain cemetuk sebagai bagian rangkaian acara adat. Kemudian, mengumpah diawali dari seseorang yang dituakan berturut ke yang lebih muda. Si Badri sebagai orang yang di-songgot direnjis, dioleskan tepung putih atau bedak dingin ke muka dan tangannya, lalu ditaburkan beras putih dan kuning, bertih, serta bunga rampai, berikutnya dia dipercikkan air dingin dan jeruk limukur dengan tujuh macam daun, yang terdiri dari: daun kalinjuhang, daun pepulut, daun ganda rusa, daun jejurun, daun si penuh, daun si dingin, rumput sambau dan akarnya. Terakhir, balai diangkat ke si Badri.

“1, 2, 3, 4, 5, 6, 7. Upah-upah kau, ya. Copat kau sehat, kau tengok ‘kan, nenek kau dulu kau sipak-sipak, kau lawan aku sama mamak kau, tengoklah, siapa merawat kau sakit? Kami juga, ‘kan?Kawan-kawan kau tu dulu tak ada yang menengok kau sakit,” ujar ayah si Badri sempat-sempatnya merepet. Sementara, si Badri hanya bisa terdiam mendengar ucapan ayahnya, bila dulu cakap sang ayah selalu dilawan, sekarang dia hanya mengangguk-angguk, sebab apa yang dikatakan memanglah fakta.

-***-

Setelah acara menyonggot itu, si Badri lagi-lagi tak kunjung sembuh. Atas kesepakatan bersama, akhirnya ke dokter spesialis jalan akhirnya. Benar, sesuai mimpi nenek. Penyakit si Badri ini sudah parah. Usus buntunya pecah, mau tak mau, demi keselamatan si Badri, operasi adalah jalan keluarnya. Walaupun dengan operasi, masih sangat memungkinkan dia tak selamat.

Selama operasi, nenek tak mau mendampingi Badri. Katanya, mau ke musala, mau salat saja. Tak taunya, setelah si Badri ke luar dari ruang operasi dalam keadaan selamat, nenek tak pernah bangun lagi dari sujudnya.

-***-

Karya : Cinta Maulida Azbi

Related articles

Recent articles