
“Di balik gedung-gedung megah yang menjulang tinggi, ada ribuan cerita pilu yang tak pernah terdengar. Mereka yang hidup di kolong jembatan, di antara tumpukan sampah, atau di pinggir rel kereta, adalah potret nyata dari Ibu kota yang tak pernah peduli.”
-Hurit, 2024-
Karya sastra merupakan bentuk ekspresi yang lahir dari kreativitas dan imajinasi sering kali merefleksikan realitas sosial dalam kehidupan masyarakat. Menurut Jurahman (2023) sastra merupakan tulisan yang bersumber dari daya imajinatif, namun tetap memiliki keterkaitan dengan pengalaman nyata manusia. Salah satu cerpen yang mencerminkan realitas sosial dan kehidupan di perkotaan adalah cerpen “Ibu Kota” karya Silvester Petara Hurit. Cerpen ini menyajikan realitas pahit dari perjuangan rakyat jelata yang terpinggirkan di tengah kemewahan kota metropolitan, menampilkan kehidupan rakyat jelata yang harus bertahan di bawah tekanan ekonomi dan sosial yang semakin berat. Kritik sastra ini akan membahas tentang representasi ketidakadilan sosial dan ekonomi melalui tokoh-tokoh di dalam cerpen, kutipan dalam cerita, serta latar sosial yang melatar belakanginya. Selain itu, cerpen ini juga menyampaikan makna yang lebih dalam tentang kata “Ibu” dalam kehidupan perkotaan yang ingin disampaikan oleh Hurit kepada pembacanya.
Metrapolitan: Kemewahan di Atas Jurang Kesenjangan dan Ketimpangan
Dalam cerpen “Ibu Kota” Hurit memperlihatkan kenyataan pahit yang dialami oleh rakyat jelata dan para pendatang yang berusaha mencari kehidupan yang lebih baik, tetapi justru terperangkap dalam kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Cerpen ini menegaskan bahwa ketidakseimbangan dalam distribusi sumber daya membuat banyak orang sulit untuk keluar dari jerat kemiskinan.
Tokoh utama dalam cerpen ini merepresentasikan para pendatang yang berusaha mencari peluang di kota besar dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Namun, realitas yang mereka hadapi sering kali tidak sesuai dengan ekspektasi. Mereka terpaksa menerima pekerjaan dengan upah rendah dan kondisi kerja yang tidak layak, serta mengalami keterbatasan akses terhadap layanan sosial, seperti kesehatan dan pendidikan. Situasi ini mencerminkan kesenjangan sosial yang terjadi akibat distribusi kesempatan yang tidak merata di antara berbagai kalangan sosial. Kesenjangan ini dapat terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan, serta peluang ekonomi.
Kesenjangan sosial yang digambarkan oleh Hurit dalam cerpen ini merujuk pada kondisi ketidakseimbangan dalam masyarakat, khususnya dalam aspek ekonomi dan kekayaan. Kondisi ini memperjelas bahwa kesenjangan dalam akses terhadap sumber daya dan peluang ekonomi masih menjadi tantangan bagi kelompok masyarakat tertentu, terutama para pendatang yang berjuang untuk memperbaiki kehidupan mereka di kota besar (Habibi, dkk., 2024). Hal ini tergambar “Malam-malam kami berteman dengan deru kendaraan, bukan lantunan mimpi indah seperti mereka yang tidur di apartemen mewah.” Kutipan ini menyoroti bagaimana masyarakat kelas bawah tidak memiliki kesempatan menikmati kenyamanan hidup seperti golongan kaya. Bagi mereka, ibu kota bukanlah tempat mewujudkan mimpi indah, melainkan medan perjuangan berat demi bertahan hidup.
Hurit dalam cerpen ini juga memperlihatkan ketimpangan sosial yang terjadi di tengah gemerlap kehidupan metropolitan.Kota yang seharusnya melambangkan kemajuan dan kesejahteraan justru menyimpan kenyataan pahit bagi mereka yang hidup di pinggiran. Dalam cerpen ini, “Ibu kota” digambarkan sebagai tempat yang menawarkan impian tentang kemewahan, tetapi kenyataannya hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat dan ekonomi. Kemewahan metropolitan ini ditampilkan melalui berbagai aspek, seperti gedung-gedung pencakar langit yang berdiri megah, pusat perbelanjaan mewah, serta gaya hidup konsumtif yang dipertontonkan oleh kaum berada. Namun, di balik kemegahan itu terdapat ketimpangan sosial yang begitu tajam, pendatang dari desa yang mengadu nasib di kota besar justru sering kali terpinggirkan, terjebak dalam pekerjaan berat dengan penghasilan rendah, dan hidup dalam kondisi yang tidak layak. Kemewahan “Ibu kota” hanya menjadi ilusi bagi mereka yang tidak memiliki dukungan sosial maupun ekonomi untuk bertahan dalam persaingan kota yang keras.
Ini sejalan dengan penjelasan teori urbanisasi bahwa kota-kota besar cenderung menjadi pusat kapitalisme global, di mana aliran modal berlangsung cepat dan keuntungan ekonomi lebih banyak dinikmati oleh sekelompok orang yang berkuasa. Hal ini relevan dengan isi cerpen, di mana perkembangan ekonomi yang pesat tidak serta-merta membawa kesejahteraan bagi semua kalangan. Kaum elit menikmati berbagai fasilitas mewah, seperti apartemen eksklusif dan restoran mahal, sementara kelompok masyarakat bawah harus berjuang untuk sekadar bertahan hidup.
Dalam cerpen ini, kemewahan metropolitan digunakan sebagai realitas yang memperlihatkan ketimpangan sosial. Salah satu gambaran yang dapat dilihat adalah perbedaan mencolok antara ruang pada pusat kota yang penuh dengan cahaya gemerlap dan kawasan kumuh yang berada di sekitarnya yang terabaikan. Ruang di sudut kota sebenarnya merupakan ruang yang penuh dengan dinamika. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Leuwol dkk. (2024) tentang teori ruang sosial yang menyatakan bahwa kota merupakan hasil dari dinamika ekonomi dan politik. Proses ini sering kali menyebabkan rakyat jelata tersingkir dari akses terhadap fasilitas perkotaan, sehingga membentuk ruang-ruang tertentu di kota yang mencerminkan ketimpangan sosial yang terjadi. Dalam cerpen “Ibu Kota”, kaum pekerja dan masyarakat miskin tidak memiliki tempat dalam merasakan kemewahan kota metropolitan, melainkan hanya menjadi bagian yang terlupakan di sudut-sudut kota.
Lebih dari sekadar cerita tentang kehidupan di kota besar, cerpen ini juga mengkritik impian tentang urbanisasi yang sering kali dijual kepada masyarakat desa. Banyak orang datang ke ibu kota dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik, tetapi kenyataan yang mereka hadapi justru penuh dengan keterasingan, eksploitasi, dan kehilangan identitas. Seperti yang dijelaskan oleh Sassen (2001) bahwa kota-kota besar di negara berkembang sering kali menciptakan kelas pekerja urban yang tidak mendapatkan akses terhadap kesejahteraan, meskipun mereka berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian, cerpen “Ibu Kota” tidak hanya menggambarkan kehidupan kota besar, melainkan juga berperan sebagai kritik sosial terhadap ketidakadilan dalam sistem kapitalisme perkotaan. Kemewahan metropolitan yang digambarkan dalam cerpen ini bukanlah gambaran keberhasilan yang bisa dirasakan semua orang, melainkan bukti nyata dari jurang yang semakin lebar antara kaya dan miskin. Cerpen ini mengajak pembaca untuk melihat realitas kehidupan di ibu kota secara lebih kritis, di mana di balik gemerlapnya, ada banyak orang yang harus berjuang keras hanya untuk bertahan hidup.
Ibu: Simbol Harapan dan Pengabaian dalam Kehidupan
Hurit tidak hanya menyoroti kerasnya kehidupan di kota besar, tetapi juga mengangkat makna simbolis dari kata “Ibu” dalam konteks urban. Kota sering dipandang sebagai tempat yang menawarkan peluang hidup yang lebih baik, layaknya seorang ibu yang bertugas merawat, menjaga dan melindungi anak-anaknya. Namun, kenyataan yang dialami para pendatang dan kelompok marjinal justru berlawanan dengan harapan tersebut. Bukannya mendapatkan perlindungan dan perhatian, mereka justru menghadapi eksploitasi, ketidakadilan, serta keterasingan. Kota yang seharusnya menjadi ruang bagi individu untuk bertumbuh malah berubah menjadi sistem kapitalis yang hanya menguntungkan segelintir orang, dalam kajian urbanisasi, kota sering dianalogikan sebagai ruang yang menyediakan kehidupan bagi penduduknya.
Akan tetapi, dalam cerpen ini Hurit menganggap kota lebih menyerupai figur “ibu tiri” yang bersikap acuh tak acuh terhadap kesejahteraan penduduknya, membiarkan mereka berjuang sendirian. Konsep ini tergambar dalam “Ibu tanah, kenapa hidup begitu berjarak antara yang satu dengan yang lainnya? Lalu kenapa orang-orang mengimpikan kota tanpa Ibu? Apa jadinya rumah tanpa Ibu?” kalimat ini mencerminkan keresahan terhadap dampak modernisasi yang sering mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Para pendatang yang datang dengan impian kehidupan lebih baik justru dihadapkan pada realitas yang pahit. Mereka hanya menjadi bagian dari kelompok bawah yang harus bekerja keras tanpa kepastian dan kesejahteraan. Harapan akan kehangatan dan perlindungan dari “Ibu Kota” justru berganti dengan kerasnya persaingan dan tekanan ekonomi.
Dengan demikian, “Ibu” dalam cerpen ini tidak hanya merujuk pada kota sebagai tempat tinggal, tetapi juga menjadi tanda dualitas antara harapan dan kekecewaan, antara rasa aman dan pengabaian. Cerpen ini tidak hanya mengisahkan perjuangan individu, tetapi juga menyampaikan kritik terhadap ketidakadilan sosial yang terus berlangsung di kota metropolitan. Melalui penggambaran kehidupan rakyat jelata yang terpinggirkan oleh sistem yang tidak berpihak pada mereka, Hurit ingin mendorong pembaca untuk lebih sadar dan peduli terhadap realitas sosial yang terjadi di sekitar. Dengan demikian, cerpen “Ibu Kota” ini bukan sekadar cerita fiksi, melainkan juga cerminan dari kondisi yang dialami banyak orang dalam kehidupan nyata.
DAFTAR PUSTAKA:
Hababil, M. P., Firdaus, M. K., Nazhmi, N., Alghifary, M. R., Hamdani, M. D., & Fadilla, A. (2024). Analisis pengaruh pemerataan ekonomi dalam upaya menghapus ketimpangan sosial-ekonomi antar masyarakat. Journal of Macroeconomics and Social Development, 1(4), 1–9.
Hurit, S. P. (2024, Juli 21). Ibu Kota. Harian Kompas.
Jurahman, Y. B. (2023). Karya sastra sebagai sumber penulisan sejarah. RINONTJE: Jurnal Pendidikan dan Penelitian Sejarah, 4(2), 107–121.
Leuwol, F. S., Yusuf, R., Wahyudi, E., & Jamin, N. S. (2024). Pengaruh kualitas lingkungan terhadap kesejahteraan psikologis individu di kota metropolitan. Jurnal Multidisiplin West Science, 2(8), 714–720.
Sassen, S. (2001). Global cities and developmentalist states: How to derail what could be an interesting debate: A response to Hill and Kim. Urban Studies, 38(13), 2537–2540.
Penulis: Qesya Balqis Lubis
Editor: Yosia


Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.