Rebahan sembari menjunjung tinggi tagar-tagar kontroversi seperti #lawancoronavirus #dirumahaja #socialdistancing #staysafe dan lain sebagainya agaknya cenderung lebih terhormat daripada harus menjenguk kuda Berastagi (jika kasusnya rumah anda berada di Medan). Kenapa nggak kuda berastaginya saja yang di datangkan ke rumah? Lebih antimainstream bahkan.
Stay safe dengan handsanitizer melapisi kulit, masker yang menggantung menutupi hidung dan mulut, hingga tak lupa memakai sarung tangan saat keluar dan beringsut menjadi atensi yang harus diindahkan di masa kalut. Siapa bilang corona adalah virus yang menyerang rombongan borjuis? Oh tidak. Sekarang kasusnya, kaum proletariat seperti kita juga berpotensi terjangkit, Bambang! Borjuis saja bisa jatuh jadi proletariat gara-gara corona, namun proletariat tak bisa jatuh menjadi borjuis. Kononlah jatuh jadi borjuis, jatuh cinta saja proletariat pun tak berani di budaya kapitalis ini. Hadeuh..
Omong-omong soal corona dan borjuis, baru saja saya melihat infografik media pers (tirto.id) yang berjudul “Menjauhi Corona (Kalau Kamu Kaya Raya)”. Asyik, sih. Apalagi statement ucul yang berucap “status sosyal terlihat dari jenis masker yang digunakan.” Wow, sarcastic sentence for our country, dude. Ternyata selain menjadi pandemi, corona juga menjadi ajang terpaksa bagi beberapa orang dalam pemberian “peran masker” terhadap penggunanya apakah ia kaum borjuis atau proletariat. Sungguh klasifikasi mengenaskan (namun masuk akal, sih).
Media jurnalistik menyampaikan pemberitaan begini begono mengenai corona atau informasi lainnya baik itu bersifat solutif, persuasif, informatif, serta malaikat-malaikatnya yang lain. Sadar atau tidak sadar menyadari atau disadarkan, nyatanya lewat medialah kita jadi tahu nih perkembangan corona, ekonomi dunia, isu sosial, hiruk-pikuk politik, keadaan Pak Harun Masiku (Hahaha), serta informasi lainnya (meskipun tak dapat dipungkiri banyak juga media yang justru memelintir berita dengan bumbu hoax sehingga dapat memicu respon yang wow) itulah mengapa posisi kita sebagai masyarakat maupun citizen journalism dituntut untuk bijaksana membuat atau menanggapi berita.
Citra seorang Jurnalis tentu beragam di masing-masing kepala masyarakat. Ada yang menginterpretasi bahwa seorang Jurnalis bak malaikat (jika kasusnya seorang Jurnalis memaparkan validitas informasi serta verifikasi data yang berangkat dari ketegasan proposisi yang akurat), ada juga yang menganggap seorang Jurnalis sebagai setan kilat (jika kasusnya seorang Jurnalis memelintir informasi yang tidak tepat). Yep, hidup memang penuh dengan pemberian label seperti itu. Namun pertanyaan besarnya adalah, sebelum mengategorikan citra Jurnalis secara general (meskipun tidak mungkin), apakah masyarakat tak mengategorikan dirinya terlebih dahulu apakah ia termasuk masyarakat tipe tegas-tegas rahang Rambo (Masyarakat kelas kritis yang menyerap informasi dengan melakukan filtrasi berupa uji validitas pasti) atau masyarakat tipe empuk-empuk pipi Boboho (Masyarakat kelas krisis yang menyerap informasi dengan justifikasi mentah sementah daging-daging sushi)?
Disini saya tak memberi advokasi atau pembenaran terhadap Jurnalis yang melahirkan berita hoax tanpa proses persalinan, juga tak membenarkan masyarakat yang langsung menjustifikasi tanpa berpikir sebanyak enam puluh sembilan kali. Wong masih ada kok masyarakat yang menanggapi isu-isu jambu dengan bijak-bijak tai kucing (kalau kata Slank modal copas, langsung dishare, orang dihujat). Pala lu peyang! Apalagi sampai melakukan tindakan yaitu pemukulan terhadap seorang Jurnalis (hanya karena tulisan yang tidak sesuai atau tidak disukai). Hey, saudara-saudara! Jurnalis juga manusia, bukan seekor nyamuk yang melakukan kesalahan sedikit (dengan mencumbu kulit) langsung diri ini main tepass teposs tanpa kompromi. Uji nalar dulu, kek. Kalau kata orang Medan “Main cantik aja”. Lah, gila sih. Ini negara hukum kelesss. Nyawa manusia jelas bukanlah sesuatu yang diabaikan (seperti chat eike yang selalu diabaikan si dia). Kendati diri ini jengkel, ingat “konstruksi nalar kritis” di atas segalanya. Gimana, sih.
Menyikapi beberapa hal yang cukup pelik, bahwa untuk Jurnalis muda-muda cabi rawit (maksudnya Jurnalis strata kampus yang bekerja di Lembaga Pers Mahasiswa) nyatanya belum juga mendapatkan kemerdekaannya secara fundamental.
Bagaimana tidak? Lah payung hukum tidak melindungi, kok. Jadi? Ya harus masuk ke PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dulu baru dilindungi dan diakui. Lah, miris kan? Sedih juga loh. Namun meskipun begitu, tetap saja baik masyarakat maupun siapa saja penduduk seantero galaksi tak bisa seenak jidat dong main tepak tepuk terhadap seorang Jurnalis (yang melakukan kesalahan atau dianggap salah padahal benar) meskipun sekelas jurnalis kampus yang belum memiliki payung hukum?
Job desc seorang Jurnalis baik AJI, PWI, maupun sekelas Jurnalis kampus harus memaparkan informasi secara akurat dan berangkat dari kantong-kantong fakta. Ada seseorang yang tewas gara-gara diserempet kucing kawin, ya begitu juga diberitakan. Ada sampah berserak di lingkungan kampus, ya begitu adanya juga yang diberitakan. Jurnalis salah apa (jika kasusnya Ia menjalankan job desc nya dengan baik)? Ia harus bagaimana? Bukannya berterimakasih, beberapa masyarakat atau pihak yang bersangkutan justru menyuruh berita itu diturunkan hanya karena citra personal. Kalau AJI dan PWI mungkin sedikit leluasa. Lah kami yang berdiri di bawah panji-panji Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)? Ya terpaksa harus nurut lagi (meskipun kasusnya pihak Jurnlis Kampus telah mengikuti Kode Etik Jurnalistik yang ada). Tapi tolonglah, baik “pereman setempat” maupun warga-warga keparat untuk tidak menghakimi atau melakukan kekerasan fisik terhadap seorang Jurnalis (tak hanya Jurnalis sih, semua juga harus dilindungi kesejahteraannya baik itu kang cendol, kang pangkas, kang kacang rebus, maupun anggota DPR dan Pemprov sekalipun)
Baiklah, mungkin sedikit wadidaw jika kita membahas hal ini lebih lanjut. Namun tak pula lupa untuk menyoroti bagaimana justifikasi masyarakat terhadap berita yang ada (baik faktual maupun hoax) yang masih terlalu mengenaskan. Untuk itu baik masyarakat maupun pihak Jurnalis sama-sama bersikap bijaksana dalam menuntun langkah. Masyarakat jangan langsung main hakim atau main tepak-tepuk (baik tepak tepuk fisik maupun tepak tepuk media), begitupun dengan Jurnalis sendiri. Mentanglah kedudukan media sekarang secara esensial menjadi tonggak keberaturan sistem, lantas dengan seenak jidat melayangkan berita hoax dan menggiring opini untuk mempengaruhi masyarakat. Hadeuh.. naif yang ada. Untuk itu, sama-samalah menjadi manusia yang sejahtera. Sejahtera dalam berpikir, sejahtera dalam bertindak. Alerta!