Medan, Persma Kreatif – Apa yang ada di pikiran kalian ketika mendengar kata “pekerja seks”?. Sebuah pekerjaan dengan beragam macam stigma oleh masyarakat, dianggap hina dan buruk. Tidak muluk-muluk, akan tetapi memang seperti itulah kenyataan yang beredar di masyarakat.
Matahari pagi bersinar cerah setelah bersembunyi semalaman, menyapu hangat wajah-wajah orang-orang yang keluar dari kediamannya dengan tujuan untuk beraktivitas. Pagi hari biasanya adalah waktu yang pas bagi masyarakat untuk memulai aktivitas. Orang-orang berangkat bekerja dan mengais rezeki di pagi hari, namun tidak dengan sekelompok orang di rumah berwarna hijau yang terletak di lorong gang pemukiman salah satu kota Medan. Mereka justru baru saja pulang dari bekerja, pekerjaan yang hanya dilakukan di malam yang panjang.
Pukul 9 pagi, di halaman depan rumah, Bunga, bukan nama sebenarnya, menyambut hangat sembari menyusun rapi sandal yang berserakan di depan pintu. Ukuran rumah itu tidak besar sama sekali, berukuran sederhana dengan dua kamar, lemari berisi tas di tengah ruang tamu, dan selembar karton berisi poin-poin Hak Asasi Manusia (HAM) ditempel di samping pintu masuk.
“Duduk aja dulu, cobain minuman kami, mana tau gula kami rasanya beda, soalnya dibeli pakai uang haram”, kelakar Bunga di pagi yang cerah itu sembari menyuguhkan teh manis hangat. Rumah yang mereka sebut basecamp tersebut berisikan 3 orang lainnya, mayoritas merupakan pekerja seks, baik itu laki-laki, perempuan, bahkan transgender. Semuanya berkumpul duduk melingkar di tengah ruangan, pembicaraan hangat mengalir lancar tanpa adanya intimidasi. Seluruh stigma buruk yang sebelumnya hinggap di pikiran, seketika runtuh ketika disuguhkan kehangatan yang mereka berikan. Mereka adalah bagian dari OPSI atau Organisasi Perubahan Sosial Indonesia salah satu jaringan nasional berbasis komunitas yang dijalankan dan didedikasikan untuk Pekerja Seks di Indonesia dan Bunga merupakan salah satu penanggung jawab dari organisasi ini.
Andi, juga bukan nama sebenarnya, satu-satunya anggota OPSI transgender yang ikut bercengkrama di pagi hari tersebut. Intonasi nada bicaranya naik turun, menyesuaikan dengan topik yang dibicarakan. “Aku positif HIV”, akunya dengan nada lirih. Dia menceritakan status dirinya sembari meremas jari-jari tangannya. Dengan suara yang pelan dia menceritakan pengalaman masa lalunya ketika pernah menjadi pekerja seks.
2017, awal mula pertama Andi terjun ke dalam dunia kelam ini. Kerap banyak diskriminasi yang diterimanya, apalagi dengan status transgender. Beragam makian, cemoohan, dan ancaman yang membahayakan nyawa pernah dialaminya. Apalagi setelah “menyandang” status HIV, bukanlah hal yang mudah baginya untuk menjalani kehidupan normal. Awalnya dia ragu untuk mengakui status dirinya yang sudah “positif” kepada orang lain. “Aku takut dikucilkan”, ujar pria berusia 30 tahun tersebut. Sayangnya hal yang disembunyikannya tercium juga, pengucilan dan diskriminasi yang dialaminya pun semakin parah.
“Aku pernah dilempari batu bata,” ujar Andi ketika ditanya mengenai diskriminasi paling parah yang dialami, dan diskriminasi tersebut mirisnya terjadi di lingkungan keluarganya sendiri.
Diskriminasi juga dialami oleh 2 orang wanita pekerja seks lainnya, sebut saja Mawar dan Cindy, juga bukan nama asli. Dimulai dari Mawar, dia menceritakan pengalaman diskriminasi yang pernah dialaminya. Mawar mengisap panjang batang rokok dengan merek Sampoerna di tangan kirinya. “Paling sering diancam client”, ujarnya sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya.
Mawar mengakui jika banyak client kurang ajar yang memperlakukan semena-mena dirinya hanya karena dia merupakan seorang pekerja seks. Tidak jarang juga terdapat beberapa client yang kabur setelah memuaskan hasratnya, meninggalkan Mawar tanpa adanya bayaran. “Yang gini sih paling parah, udah dapat enak, bukannya dibayar malah kabur”, kutuk Mawar sambil tetap mengisap rokoknya.
Terdapat satu pembahasan dari cerita Mawar yang benar-benar menggoyahkan hati. Mawar bercerita bahwasanya dia memiliki dua orang anak, dan keduanya tidak mengetahui tentang pekerjaan asli dirinya. Mau tak mau dia harus menutupi rahasia kelamnya tersebut terhadap kedua buah hatinya.
Cindy, salah satu yang paling muda di antara bereka berempat. Gadis belia berusia sekitar 18 tahun, dan sudah menjadi pekerja seks sejak 2 tahun lalu. Tidak banyak hal yang diceritakan Cindy, masih malu-malu katanya. Dia hanya menceritakan mengenai awal mula bagaimana dia bisa masuk ke dalam pekerjaan ini.
Awalnya dia bekerja sebagai pramusaji rumah makan di depan salah satu hotel kota Medan, kemudian murni dari rasa penasaran dirinya ketika melihat banyak wanita muda keluar dari hotel di malam hari. Demi memuaskan rasa penasarannya, dia pun memberanikan diri untuk bertanya kepada salah satu wanita itu ketika mereka mampir ke rumah makan tempat dia bekerja. “Kalau kamu tertarik, bisa hubungi aku, nanti aku ajari”, jawab wanita itu ketika ditanyai oleh Cindy, dan hal itulah menjadi awal mula Cindy masuk ke dalam pekerjaannya saat ini.
Kami menyeruput teh manis hangat yang sudah mulai kehilangan rasa hangatnya, lalu kami berdiam sejenak sembari berusaha mencerna banyaknya cerita yang sudah diceritakan. Banyak hal menarik yang dibahas di rumah berwarna hijau pada pagi ini. Seakan membukakan mata mengenai stigma yang beredar. Tidak membenarkan perilaku yang mereka lakukan, tetapi tidak ada salahnya sedikit berempati dengan pengalaman dan diskriminasi yang mereka alami.
Kru : Khusnul Arifin