“Buruh Tani, Mahasiswa, Rakyat miskin kota
Bersatu padu rebut demokrasi
Gegap gempita dalam satu suara
Demi tugas suci yang mulia”
Rasanya begitu worth it ketika lagu tersebut dinyanyikan dalam suasana yang cukup hiruk-pikuk menuntut suatu kebebasan berdemokrasi. Hal tersebut jelas berkiblat pada nilai mendasar bahwa lagu tersebut diciptakan pada tahun 1996, namun baru booming setelah tahun 1997. Lagu tersebut memang dipelopori oleh represifitas sebuah rezim pada tahun itu. Melihat dari beberapa literatur yang menyebutkan, bahwa lagu tersebut penciptanya ialah Safi’i Kemamang, yang mengatakan bahwa sebenarnya lagu tersebut judulnya adalah “Pembebasan” bukan “Buruh Tani”. Pun, lagu tersebut yang diperdengarkan sekarang memiliki perbedaan dengan versi aslinya.
Hingga sekarang, lagu hits tentang perjuangan mahasiswa menjadi hal yang sangat ikonik bagi aksi-aksi demonstrasi (Kalau demonstrasinya gak sehat, rasanya lagu tersebut sangat tidak layak untuk dinyanyikan dengan semangat yang berapi-api hingga air liur turut berkeluaran). Ya, bagaimana lagu semangat juang tersebut worth it dinyanyikan haruslah menilik beberapa pertimbangan seperti inisiasi, gerakan yang sehat, pembangunan, maupun bentuk menuntut keadilannya, bukan semata-mata dinyanyikan untuk suatu gerakan secara general hingga manusia-manusia di luar sana tetap menyanyikan lagu tersebut meskipun gerakan yang ia geluti cukup anarkis. Namun sejatinya, sebagian orang tak ingin menyanyikan lagu tersebut pada acara demonstrasi. Dengan kata lain, demonstrasinyalah yang tak diinginkan. Siapa sih orang yang ingin “kebebasan berdemokrasi” terancam sehingga mengharuskan orang-orang melakukan aksi demonstrasi dan menyanyikan lagu “pembebasan” itu? Untuk itu, mungkin sebagian besar orang berharap bahwa dunia ini tenteram-tenteram saja, termasuk Indonesia. Namun, hal tersebut tentu hampir mustahil. Dimana kebutuhan tingkat sekulerlah yang sebenarnya menginisiasi segala inisiasi. Selagi manusia berkebutuhan, maka persentase hiruk-pikuk mungkin semakin besar.
Berbicara soal demokrasi, akhir-akhir ini banyak sekali peristiwa besar yang beredar dan berkembang terkait permasalahan yang serupa. Termasuk di kalangan mahasiswa Universitas Negeri Medan. Pandemi Corona Virus Disease-19 (Covid-19) mengubah sistem akademik kampus. Tidak hanya kampus, Covid-19 tentu menjadi sugesti publik dari segala penjuru dunia. Covid-19 mempengaruhi ekonomi yang saat ini mungkin cukup ambruk bukan justru menunjukkan eskalasi. Sehingga atas dasar itu, muncul usulan-usulan yang serempak mengudara dengan premis kemaslahatan sosial. Salah satunya adalah permohonan peniadaan atau penurunan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Universitas, termasuk Universitas Negeri Medan.
Senat Mahasiswa Universitas Negeri Medan selaku lembaga yang memiliki otoritas tertinggi di kalangan mahasiswa mencoba memproyeksikan permasalahan-permasalahan akademik yang disebabkan Covid-19 ke dalam suatu wadah aspirasi mahasiswa. Senat Mahasiswa Unimed ini mengumpulkan data berupa aspirasi dari seluruh Fakultas yang ada di kampusnya. Namun, agaknya esensi “apik” belum membersamai Senat Mahasiswa saat surat edaran audiensi sementara nomor: 001/A/SE-SEK/SEMA-UNIMED/VI/2020 pada Kamis, 4 Juni 2020 keluar dan mengalami permasalahan di kalangan sebagian mahasiswa. Hasil audiensi Senat Mahasiswa Unimed dengan Birokrasi terkait aspirasi mahasiswa sepertinya mengalami indikasi yang cukup pelik. Tak sedikit mahasiswa yang mempersoalkan hasil audiensi mereka dengan pihak Birokrasi.
“Saya juga mahasiswa yang merasakan kesulitan di tengah pandemi seperti ini, termasuk orang tua yang sangat mengalami dampak pada penghasilannya. Istilahnya seperti ini, di awal para mahasiswa sudah diberi harapan untuk tindak lanjut UKT dengan mengisi formulir online berupa aspirasi. Namun, hasilnya ya seperti itu yang mungkin banyak mahasiswa merasa kecewa. Dengan kata lain seperti sia-sia menyampaikan aspirasinya. Kalau memang sudah tahu hasilnya, lebih baik langsung ditiadakan aspirasi dengan mengisi formulir online tersebut.” Ungkap salah seorang mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni pada Kreatif beberapa waktu lalu. Ia juga berspekulasi bahwa permasalahan bermula hanya karena seorang mahasiswa menyampaikan kritik dan sarannya di dalam kolom komentar.
“Kemudian, menurut informasi dan bukti bahwa komentar tersebut dihapus kemudian akun mahasiswa yang berkomentar diblokir. Nah di sini, saya rasa kurang objektif, ya. Layaknya akun SEMA kan adalah akun publik yang diperuntukkan untuk dilihat semua orang. Jika hanya sebatas komentar berupa kritik dihapus, berarti sudah menyalahi. Sebab SEMA menggaungkan dirinya sebagai wadah aspirasi mahasiswa. Jadi, jika hanya kritik berupa komentar saja dihapus, maka dimana yang dikatakan wadah aspirasi itu? Bukankah bentuk dari aspirasi itu bermacam-macam?” tambahnya.
Akun instagram @semaunimed.official pada postingan surat edaran tersebut menuai banyak atensi bahkan dibanjiri komentar, sehingga muncul krisis kepercayaan sebagian mahasiswa terhadap Senat Mahasiswa. Hingga per 11 Juni 2020, jumlah komentar mencapai seribu lebih. Baik berupa aspirasi mahasiswa, kritik atau saran, spekulasi liar (seliar ular sawah), bahkan komentar yang hanya tag rekannya untuk tak ketinggalan informasi seputar kampus. Isi komentar didominasi oleh keluhan mahasiswa terhadap Senat Mahasiswanya. Seperti yang dikatakan oleh akun @jon.fahmi yang mengatakan “Dimana ketua Senatnya? Coba ambil sikap dulu dengan masalah ini. Apa langkah selanjutnya. Kalau hanya begini, terkesan lepas tangan. Ingat kawan kalian (sema) dibentuk sebagai wadah aspirasi mahasiswa. Kalian adalah pemerintahan tertinggi di kampus hijau. Jika kalian masih saja masih tidak acuh, mau dibawa kemana arah suara-suara rakyat kampus. #SENATKUHILANG #SEMAOMONGKOSONG.”
Tak hanya itu, akun @chici_alwafiq juga turut berkomentar “Wih.. Jadi heran apa alasan pada nge-blokir akun.. dari wikipedia nih ‘pemblokiran adalah suatu istilah teknis yang membuat suatu akun, sebuah alamat/blok alamat IP, atau seseorang dicegah untuk melakukan penyuntingan. Pemblokiran sering digunakan untuk menangani vandalisme’ oppppp….. apakah kritik atau aspirasi mahasiswa tentang hasil audiensi yang itu bentuk vandalisme nih? Makanya diblok… masih menjadi misteri..(emot berpikir)”
Seakan tak mau kalah, akun instagram @bang_sonaa juga turut berspekulasi. Bahkan, ia melibatkan poin-poin dalam komentarnya yaitu “1. Menurut saya Sema sudah menyampaikan aspirasi mahasiswa dan poin-poin besar ke pihak kampus, walau hasil atau jawaban yg diberikan belum memuaskan seperti apa yang kita harapkan bersama. Dan menurut saya isi dari surat edaran tersebut belum merupakan hasil akhir, karena senat juga menyatakan akan melakukan audiensi selanjutnya untuk mencapai target dalam memperjuangkan hak mahasiswa. 2. Ada juga hal yang disayangkan, kawan-kawan mahasiswa malah semua fokus utamanya menjadi masalah klarifikasi, bukan lagi dalam agenda memperjuangkan tuntutan kawan-kawan, dan makin lari dari luar konteks. Memang, klarifikasi itu perlu tapi yang penting bagaimana Sema dan seluruh mahasiswa bersatu untuk mewujudkan keinginan bersama, bukan malah menguatkan narasi tidak percaya Senat atau saling berdebat hal yang tidak menguntungkan untuk tujuan bersama. Senat mahasiswa adalah ujung tombak dari aspirasi mahasiswa. Dan mahasiswa lain adalah pemegang/pengendali/pendorong tombak itu. 3. Semoga gerakan tidak percaya Sema ini dan gerakan tidak penting lainnya, tidak dimanfaatkan oleh oknum-oknum, golongan tertentu, atau individu tertentu untuk melemahkan pergerakan Sema dan agar pembahasan di luar dari konteks utama tujuan dan keinginan bersama, yang akan merugikan kawan-kawan mahasiswa sendiri. 4. Semoga Sema bisa menjadi komando dari seluruh mahasiswa dan seluruh mahasiswa rangkul serta dukung Sema untuk bergerak bersama. 5. Semoga pihak kampus juga mendengarkan aspirasi kawan-kawan yang mengakomodir tuntutan kawan-kawan. Semoga ditemukan solusi terbaik. Aamiin..” (lebih lengkap dapat dilansir di @semaunimed.official)
Salah seorang mahasiswa juga mengatakan kepada kru Kreatif pada satu momen wawancara. “Kalau mahasiswa serang sana sini, siapa yang untung? Jelas bukan mahasiswa. Aturan mahasiswa saling bahu-membahu, satukan suara. Karena yang dinaikkan suara dan keluhan mahasiswa. Sema juga mahasiswa, merasakan dampak kebijakan. Kalau bagus kebijakannya kita sama-sama menikmati, kalau buruk kita sama-sama perjuangkan. Jangan gampang terprovokasi, saring sebelum sharing dan komen. Bukan Sema yang buat keputusan, tok! Hanya SEMA sebagai wadah aspirasi. Jadi hal lumrah, apabila tidak sesuai dengan keinginan kita bersama. Intinya kita perjuangkan sama-sama.” Tutupnya.
Berdasarkan pokok permasalahan yang kian berkembang, pada pernyataan resminya di instagram, Senat Mahasiswa Universitas Negeri Medan akan adakan dialog dan sharing online yang bertajuk “SEMA Menjawab” pada Jum’at, 12 Juni 2020. Sema membuka diskusi ini untuk umum terkhusus pada akun-akun instagram tertentu yang memiliki banyak andil dalam kolom komentar, termasuk akun instagram yang kabarnya diblokir oleh pihak Sema. Hal tersebut tentu diharapkan oleh banyak pihak agar semua permasalahan yang terkait kepentingan-kepentingan umum segera menemui titik terangnya termasuk tuntutan klarifikasi dari beberapa pihak. Dan tak lupa, untuk kembali lagi fokus pada agenda memperjuangkan tuntutan mahasiswa yang sebelumnya telah dilakukan pemungutan aspirasi. Menarik untuk ditunggu, asal peserta diskusi mampu bersikap dengan kepala yang dingin.