
Sastra tidak pernah hadir dalam ruang hampa. Ia merupakan produk budaya yang merefleksikan realitas sosial, politik, dan ekonomi, termasuk ketimpangan dan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Dalam hal ini, esai ini menganalisis tiga puisi Indonesia Dongeng Marsinah, Perempuan yang Melihat Neraka, dan Perempuan yang Tergusur.
Ketiganya menyoroti bagaimana tubuh dan identitas perempuan mengalami penindasan struktural dari berbagai arah, negara, agama, budaya, dan kapitalisme. Maka dari itu, esai ini menunjukkan bahwa sastra adalah arena wacana politis yang dapat membongkar dan menantang sistem struktural.
Feminisme Materialis sebagai Kerangka Baca
Dalam studi sastra feminis kontemporer, karya sastra bukan hanya sebagai representasi imajinatif, namun sebagai medan ideologis tempat relasi kuasa diproduksi dan dinegoisiasikan. Jika perempuan muncul dalam larik puisi, ia akan menjadi medan di mana kekuasaan dan resistensi saling bertarung.
Dengan menggunakan pendekatan feminisme materialis, esai ini menilik tubuh perempuan dalam tiga puisi Indonesia tersebut menjadi arena perampasan nilai, kerja, dan makna.
Christine Delphy, (1984: 29) menyatakan bahwa sistem keluarga merupakan unit produksi tempat perempuan dieksploitasi secara material oleh laki-laki. Maka dari itu dalam kerangka ini, hubungan personal bukanlah wilayah netral, melainkan relasi produksi yang sarat kekuasaan.
Feminisme materialis juga melihat kapitalisme dan patriarki sebagai dua sistem yang saling berkaitan dalam mempertahankan subordinasi perempuan.
Walby, (1990: 112) mengemukakan bahwa patriarki modern beroperasi tidak hanya dalam rumah tangga, tetapi juga di tempat kerja, negara dan institusi budaya.
Pendekatan feminisme materialis ini menekankan bahwa ketertindasan perempuan bukan hanya akibat ideologi patriarki, tetapi juga terkait erat dengan sistem ekonomi dan relasi kekuasaan dalam masyarakat. Teori ini sejalan dengan pandangan feminisme sosialis seperti yang dikemukakan dalam kajian Tyas (2021) dan Diana (2018), bahwa kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan utama yang melanggengkan subordinasi perempuan.
Dongeng Marsinah: Tubuh Buruh dan Kekerasan Negara
Puisi Dongeng Marsinah merupakan tanggapan sastra atas tragedi pembunuhan Marsinah, seorang buruh perempuan yang dibunuh karen menuntuk hak-haknya pada 1993. Keberaniannya menjadi ancaman bagi sistem yang dominan, sehingga kekuasaan menindas hadir dalam bentuk paling brutal kematian.
Marsinah mewakili perempuan kelas pekerja yang tidak hanya menghadapi eksploitasi tenaga kerja, tetapi juga represi politik dan kekerasan sistemik. Dalam konteks feminisme materialis, puisi ini menunjukkan bahwa perempuan kelas bawah kerap menjadi korban utama ketika menyuarakan hak dan keadilan.
Kekuasaan negara dan kapitalisme bersatu untuk mempertahankan status quo, dengan menjadikan tubuh perempuan sebagai target pengendalian dan pembungkaman.
Gaya bahasa dalam puisi ini menampilkan diksi-diksi kasar dan tragis yang mencerminkan brutalitas sistem:
“kepalanya ditetak,
selangkangannya diacak-acak,
dan tubuhnya dibirulebamkan
dengan besi batangan.”
Tubuh Marsinah menjadi simbolik di mana negara dan modal bersekongkol untuk menghapus perlawanan. Seperti yang diungkap Silvia Faderici, (2004: 101), pengendalian atas tubuh perempuan selalu menjadi bagian dari strategi kapitalisme untuk mengatur tenaga kerja dan produktivitas.
Perempuan yang Melihat Neraka: Kekuasaan Simbolik dan Kekerasan Spiritual
Perempuan yang Melihat Neraka karya Valentina Salaga ini menggambarkan bagaimana kekuasaan tidak hanya bekerja secara fisik, tetapi juga melalui simbol, norma, dan nilai, termasuk tafsir agama yang patriarkal.
Tokoh dalam puisi ini mengalami bentuk kekerasan psikis dan spiritual yang tidak kasat mata, namun sangat merusak. Ketika agama atau relasi personal digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan, perempuan kehilangan ruang aman bahkan dalam hal yang seharusnya memberi ketenangan dan makna hidup.
Ini memperjelas bahwa ketidakadilan terhadap perempuan dapat beroperasi dalam wilayah batin dan kesadaran, bukan hanya dalam struktur ekonomi atau politik.
“pencari surga tergelap
yang tak pernah mengecewakan”
Larik tersebut menggambarkan bahwa perempuan dalam puisi ini mengalami paradoks eksistensial: ia mengejar “surga”, tapi yang ditemui adalah “kegelapan”.
Surga yang dijanjikan dalam relasi spiritual atau domestik justru berubah menjadi neraka yang sunyi dan menindas. Perempuan itu “melihat neraka” bukan dalam makna metafisis, tetapi dalam kenyataan relasional yang penuh kekerasan emosional dan spiritual. Kata-kata seperti “rautmuka pucat pasi”, “gemetar tulang-tulangmu”, dan “bara di kepalamu” membentuk citraan tubuh yang terguncang oleh ketakutan, trauma, dan dominasi.
Tubuh dalam puisi ini bukan hanya objek penderitaan, tetapi juga medan kekuasaan: kekuasaan yang “religius” dan “memuaskan”, seperti tertulis dalam larik “secara religius / secara memuaskan”. Kata “memuaskan” yang beriringan dengan “religius” menunjukkan adanya percampuran antara spiritualitas yang seharusnya menyucikan dan hasrat penguasaan yang merendahkan.
Dalam perspektif feminisme materialis, puisi ini mengilustrasikan bagaimana kekuasaan patriarkal bekerja melalui nilai-nilai dan simbol agama. Seperti dikemukakan Pierre Bourdieu, (2001: 56), kekuasaan simbolik bersifat tidak kasat mata, karena dilanggengkan melalui keyakinan dan legitimasi sosial.
Dalam hal ini, tafsir agama menjadi alat reproduksi penindasan, di mana ketidaknormalan menjadi “beralasan”, dan dominasi laki-laki disamarkan sebagai “keteladanan” atau “kebijaksanaan rohani”.
Puncak puisinya terletak pada pengungkapan identitas: “perempuan yang melihat neraka: aku”. Ini adalah momen penyingkapan subjektivitas perempuan yang selama ini ditekan. Aku—puisi tidak lagi menarasikan perempuan lain, tetapi menyatakan bahwa dirinya sendiri adalah korban dari neraka struktural itu.
Dengan demikian, puisi ini memperlihatkan bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan hanya terjadi di ruang publik, tetapi juga di ruang batin dan spiritual yang selama ini dikira aman dan sakral.
Perempuan yang Tergusur: Ketimpangan Sosial dan Kekerasan Struktural
Sementara itu, Perempuan yang Tergusur karya W.S. Rendra menunjukkan perempuan miskin kota yang menjadi korban dari berbagai bentuk kekerasan struktural: dipaksa menjadi pelacur oleh suaminya, kehilangan tempat tinggal akibat penggusuran, dan dihilangkan dari perlindungan hukum.Ini adalah potret nyata bagaimana perempuan dari kelas sosial paling bawah berada dalam posisi yang sangat rentan. Mereka dipinggirkan oleh sistem ekonomi yang kapitalistik dan oleh kebijakan negara yang abai terhadap keadilan sosial.
Puisi ini mengaitkan antara penindasan domestik dan kebijakan publik yang timpang, memperlihatkan bagaimana sistem kekuasaan saling bertumpuk menindas perempuan.
Sintesis: Tubuh Perempuan Sebagai Lokasi Kekuasaan dan Perlawanan
Ketiga puisi tersebut secara keseluruhan menunjukkan bagaimana perempuan menjadi titik lemah yang sering kali dikorbankan demi stabilitas sistem yang maskulin dan eksploitatif. Tubuh perempuan tidak hanya menjadi lokasi biologis, tetapi juga simbolik dari pertarungan kekuasaan, kendali, dan resistensi.
Dalam konteks feminisme materialis, puisi-puisi ini membongkar bagaimana kelas sosial, ekonomi, budaya, dan politik berkontribusi langsung dalam membentuk penderitaan perempuan.
Melihat persoalan yang sistemik, solusi yang diusulkan juga harus menyasar pada akar struktural penindasan; 1) Pengarusutamaan gender dalam kebijakan publik, khususnya perlindungan hukum bagi perempuan pekerja dan miskin kota. 2) Redistribusi sumber daya dan pemberdayaan ekonomi perempuan, seperti akses terhadap pekerjaan layak dan jaminan sosial. 3) Transformasi budaya dan pendidikan kritis berbasis gender, yang membongkar norma-norma patriarkal sejak dini. 4) Pemanfaatan sastra sebagai media advokasi, karena sastra memiliki kekuatan politis untuk mengangkat suara yang tak terdengar.
Ketiga puisi yang dianalisis membuktikan bahwa perempuan—terutama yang berasal dari kelas bawah—mengalami kekerasan berlapis yang bersumber dari sistem sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Dengan pendekatan feminisme materialis, ketertindasan ini dapat dipahami sebagai hasil dari struktur yang saling terkait dan saling memperkuat.
Sastra bukan hanya medium ekspresi estetis, melainkan juga ruang perlawanan dan advokasi. Oleh karena itu, penting untuk terus membaca dan menulis sastra dengan perspektif kritis yang berpihak pada keadilan gender.
Penutup: Sastra sebagai Medium Perlawanan Struktural
Sastra, dalam hal ini puisi yang memiliki potensi politis yang kuat. Ia bukan hanya seni kata, namun juga wahana kritik sosial dan perlawanan. Ketiga puisi ini dianalisis hingga menunjukkan bahwa perempuan yang dari kelas bawah mengalami kekerasan berlapis yang bersumber dari sistem sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Feminisme materialis menggambarkan analitis yang tajam untuk membaca bagaimana kekuasaan bekerja dan bagaimana perempuan bisa menantangnya.
Membaca puisi dari perspektif feminisme materialis bukan hanya membuka ruang tafsir baru, namun juga menghidupkan kembali sastra sebagai alat perjuangan sosial demi keadilan gender yang sejati.
Penulis: Najwa Syalsabilla, Arya Dwi Andika, Putri Wahyuni Sitohang, Vita Nancy Manurung, Zahira Nazwa
Editor: Nency


Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.