Tidak mungkin sebuah negara dipimpin oleh orang gila, tidak mungkin pula sebuah negara samasekali tidak mempunyai pemimpin.”Budi Darma, Tangan-tangan BuntungKami tertegun membaca kalimat pembuka cerpen “Tangan-tangan Buntung”. Sebuah ironi yang dihadirkan Budi Darma dengan begitu tajam namun sederhana. Melalui kalimat tersebut, ia seolah mengajak kita merenung, bukankah situasi tanpa pemimpin sama gilanya dengan dipimpin orang gila? Cerpen ini menjadi cermin yang memantulkan realitas politik yang sering kita jumpai, bagaimana pemimpin bisa naik ke tampuk kekuasaan tanpa melalui pemilihan yang jelas, bagaimana sistem pemerintahan bisa berubah sesuai kepentingan penguasa, bukan demi rakyat. Bahkan perubahan nama negara dan bendera setiap kali pergantian pemimpin menunjukkan betapa mudahnya aturan diubah demi kepentingan pribadi.
Yang menarik, Budi tidak berhenti pada kritik sederhana tentang kepemimpinan. Ia menghadirkan beragam karakter pemimpin, dari yang haus kekuasaan hingga yang tidak kompeten, namun mereka tetap bercokol di kursi kekuasaan meski sudah tidak layak memimpin. Ini menjadi sindiran yang tajam terhadap pemimpin yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan rakyatnya. Membaca “Tangan-tangan Buntung” seperti menyaksikan teater satire yang membuat kita tertawa sekaligus merasa getir akan ironi-ironi dalam sejarah politik kita sendiri.
Di tengah isu demokrasi yang sering didengungkan, cerpen ini mempertanyakan hal mendasar, masih relevankah sebuah negara dipimpin secara turun-temurun seperti kerajaan? Bagaimana mungkin undang-undang yang seharusnya melindungi rakyat justru dibuat ‘sementara’ dan disesuaikan dengan kepentingan penguasa? Melalui tokoh-tokohnya yang khas, mulai dari Dobol yang terkena tumor otak, Abdul Jedul yang mengikuti jejak ayahnya, hingga Jiglong yang gemar berfoya-foya, Budi Darma seolah ingin menggambarkan betapa mudahnya kekuasaan merusak moral para pemimpin.
Lebih menarik lagi, cerpen ini tidak hanya mengkritik sistem pemerintahan yang otoriter, tetapi juga menunjukkan bagaimana rakyat seringkali hanya menjadi penonton pasif dalam permainan politik para elite. Ketika Nirdawat akhirnya muncul sebagai presiden baru, kita dihadapkan pada pertanyaan, akankah perubahan nama negara dan bendera tanpa wajah cukup untuk memutus rantai kekuasaan yang corrupt? Atau dibutuhkan langkah yang lebih ekstrem, seperti yang ditunjukkan oleh negara dengan para pemimpin bertangan buntung?
Namun, cerpen ini menunjukkan kelemahan dalam pengembangan tokoh Nirdawat sebagai protagonis. Karakter Nirdawat yang muncul di tengah cerita tidak memiliki latar belakang yang cukup untuk menjustifikasi perannya sebagai penyelamat negara. Kemunculannya yang tiba-tiba dan resistensinya terhadap kekuasaan tidak dijelaskan secara meyakinkan. Mengapa hanya Nirdawat yang memiliki kesadaran untuk mengubah sistem, sementara tokoh-tokoh lain tidak? Ketiadaan jawaban atas pertanyaan ini membuat transformasi politik dalam cerpen terasa tidak alami dan terlalu sederhana.
Budi Darma dalam cerpen “Tangan-tangan Buntung” menyajikan kritik tajam terhadap sistem pemerintahan yang sangat ironi. Ia menggambarkan bagaimana kekuasaan sering kali berpindah tangan bukan karena demokratis, melainkan karena kepentingan segelintir orang. Pemimpin naik ke tampuk kekuasaan tanpa proses yang jelas, aturan berubah sesuai kehendak penguasa, bahkan identitas negara bisa berganti begitu saja.
Struktur narasi ini juga menunjukkan ketimpangan yang cukup mencolok. Bagian awal dan tengah cerpen didominasi oleh narasi sejarah tentang Dobol, Abdul Jedul, dan Jiglong yang detail dan elaboratif. Namun begitu Nirdawat muncul, alur cerita terasa terburu-buru. Perubahan undang-undang yang seharusnya menjadi puncak cerita hanya diceritakan secara singkat tanpa penjelasan detail tentang bagaimana proses terjadi dan apa dampaknya. Cerita yang tadinya berjalan lambat tiba-tiba menjadi cepat di bagian penting ini. Ketidakseimbangan kecepatan bercerita ini membuat pesan politik yang ingin disampaikan Budi Darma jadi kurang kuat dan kurang berkesan.
Tokoh-tokoh dalam cerpen ini menampilkan berbagai wajah kepemimpinan yang tidak kompeten. Dobol, yang mengidap tumor otak, melambangkan sistem yang membiarkan orang yang tidak cakap terus berkuasa. Abdul Jedul, yang memperoleh kekuasaan hanya karena keturunan, menegaskan bahwa politik lebih menyerupai sistem dinasti daripada demokrasi. Sementara itu, Jiglong dengan gaya hidupnya yang penuh kemewahan menggambarkan bagaimana jabatan sering kali digunakan sebagai alat untuk memperkaya diri sendiri.
Simbol-simbol ini terlalu gamblang, seperti bendera yang bergambar wajah pemimpin. Budi Darma membuat kritik politik dengan cara yang terlalu terang-terangan sehingga kehilangan kehalusan yang biasanya menjadi kekuatan karya satire. Nama-nama tokoh seperti Dobol, Abdul Jedul, dan Jiglong terkesan lucu dan berlebihan, memang menghadirkan humor tapi membuat karakter mereka kurang mendalam. Akibatnya, tokoh-tokoh ini lebih mirip karikatur sederhana daripada gambaran pemimpin politik yang kompleks dan beragam.
Selain kritik terhadap pemimpin, cerpen ini juga menyoroti sikap pasif rakyat. Mereka tidak digambarkan sebagai pihak yang mampu melawan ketidakadilan, melainkan hanya menerima setiap keputusan yang dibuat oleh penguasa. Identitas negara dan simbol bendera terus berganti, tetapi esensi kekuasaan tetap sama dan hanya menguntungkan segelintir orang.
Satu aspek yang kurang dieksplorasi dalam cerpen ini adalah peran dan reaksi rakyat terhadap sistem yang korup. Meskipun disebutkan adanya pengulingan kekuasaan terhadap Jiglong, dinamika sosial dan politik di balik gerakan tersebut tidak diuraikan dengan memadai. Rakyat digambarkan sangat pasif dan seolah hanya menjadi latar belakang dari drama politik elite. Budi Darma kehilangan kesempatan untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana kekuasaan juga dibentuk oleh relasi antara pemimpin dan rakyatnya. Akibatnya, kritik terhadap sistem politik menjadi kurang menyeluruh dan terlalu berfokus pada individu pemimpin.
Di tengah kekacauan yang ditampilkan, cerpen ini menegaskan bahwa kekuasaan yang terus berganti tidak selalu membawa perubahan yang berarti. Pemimpin baru bukan jaminan perbaikan, karena selama sistemnya tetap korup, yang terjadi hanyalah pengulangan dari kebobrokan sebelumnya. “Tangan-tangan bunting” dalam cerita ini menjadi simbol bagaimana pemimpin yang terus berganti sebenarnya tidak memiliki kendali penuh atas kekuasaan mereka sendiri, melainkan menjadi bagian dari sistem yang sudah rusak sejak awal.
Bagian akhir cerita Budi Darma tidak sejalan dengan keseluruhan cerita. Setelah mengkritik sistem kekuasaan turun-temurun dan pemimpin yang menjadikan negara seperti milik pribadi, cerita justru berakhir dengan Nirdawat yang tampak kagum melihat sistem hukuman potong tangan bagi koruptor. Ini membingungkan pembaca, apakah cerita ini sebenarnya mendukung hukuman fisik sebagai cara mengatasi korupsi? Karena tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang baik-buruknya sistem hukuman seperti itu, pesan moral cerita ini menjadi tidak jelas.
Cerpen “Tangan-tangan Buntung” bukan sekadar cerita, tetapi juga refleksi tajam terhadap realitas politik yang masih relevan hingga kini. Budi Darma menunjukkan bahwa permasalahan dalam pemerintahan bukan hanya terletak pada individu pemimpin, tetapi juga sistem yang memungkinkan ketidakmampuan dan kesewenang-wenangan terus berlangsung. Pemimpin bisa datang dan pergi, aturan bisa diubah, tetapi selama sistemnya tetap korup, kesejahteraan rakyat tidak akan pernah benar-benar terwujud.
Melalui satire yang cerdas, cerpen ini menggambarkan bagaimana kekuasaan lebih sering menjadi arena perebutan kepentingan daripada alat untuk membangun negara. Rakyat yang seharusnya memiliki kendali justru terjebak dalam ketidakberdayaan, menerima perubahan yang hanya terjadi di permukaan tanpa adanya perbaikan nyata. Dengan segala absurditas yang ditampilkan, Tangan-tangan Buntung menegaskan bahwa pergantian pemimpin hanyalah ritual tanpa makna jika tidak diiringi dengan perubahan sistem yang mendasar.
Meskipun cerpen ini memiliki unsur satire yang kuat, cerita ini juga memiliki masalah dalam perpindahan dari satu bagian ke bagian lain, terutama saat berganti dari satu pemimpin ke pemimpin berikutnya. Pembaca harus berusaha keras memahami bagian-bagian yang tidak dijelaskan dalam cerita. Contohnya, tidak dijelaskan bagaimana Nirdawat bisa mendapatkan dukungan besar dari rakyat setelah Jiglong digulingkan. Hal ini membuat cerita terasa melompat-lompat dan mengurangi kekuatan struktur cerita secara keseluruhan.
Judul “Tangan-tangan Buntung” juga menimbulkan masalah dalam struktur cerita. Cerita tentang pemimpin yang tangannya buntung baru muncul di bagian akhir dan tidak dijelaskan dengan baik. Padahal simbol ini sangat bermakna, pemimpin yang dihukum potong tangan karena korupsi tapi masih tetap berkuasa. Sayangnya, simbol ini tidak dihubungkan dengan baik ke seluruh cerita. Ini memberi kesan bahwa judul dan bagian akhir cerita hanya ditempelkan begitu saja, bukan sebagai bagian penting dari keseluruhan cerita.
Cerpen “Tangan-tangan Buntung” karya Budi Darma menyajikan kritik politik yang tajam namun memiliki beberapa kelemahan yang perlu disorot. Struktur cerita yang tidak seimbang dengan perpindahan narasi yang tidak lancar, pengembangan karakter yang tidak mendalam, simbolisme yang terlalu gamblang, dan akhir cerita yang ambigu membuat kekuatan satirenya berkurang. Meskipun cerpen ini berhasil menggambarkan absurditas sistem politik yang korup, pesan moral yang ingin disampaikan tentang perubahan sistem menjadi kurang meyakinkan karena tidak dibarengi dengan elaborasi yang memadai tentang solusi yang ditawarkan. Penggunaan judul “Tangan-tangan Buntung” yang baru relevan di akhir cerita juga menunjukkan kurangnya integrasi antara simbolisme dan keseluruhan narasi, sehingga mengurangi koherensi dan dampak kritik politik yang ingin disampaikan.
Penulis: Arum Melati, Ezra Putri Gea, Feby Valentina dan Rizky Aulia