asd
17 C
New York

Nelangsa Pedagang Buku Bekas di Kota Medan

Published:

Oleh : Khusnul Arifin

“Pedagang buku hadir untuk mencerdaskan bangsa, namun pemerintah tidak memanusiakan pedagang buku !”

Ungkapan itu disampaikan oleh Ida, salah seorang pedagang buku bekas di Kota Medan. Dengan suara tegas dia menyampaikan keresahan yang dirasakannya pada Sabtu (23/09/2023).

Nama lengkapnya Isdawati, namun dia lebih nyaman dipanggil Ida. Tak hanya sebagai pedagang buku, dia juga merupakan ketua dari Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (P2BLM). Sehari-hari, Ida menjajakan buku bekas di kios miliknya yang berada tak jauh dari rel kereta api di Jalan Hitam Medan, atau biasa dikenal dengan eks Titi Gantung Medan.

Titi Gantung merupakan nama salah satu jembatan di Kota Medan dengan nilai historis tinggi di dalamnya. Berlokasi tidak jauh dari Stasiun Kereta Api Medan dan bersebrangan dengan Lapangan Merdeka Medan.

Tidak sekedar menjadi ikon Kota Medan, tempat ini juga terkenal sebagai salah satu pasar buku bekas melegenda di Medan. Dahulu, setiap orang sering datang ke pasar ini untuk mencari buku, baik untuk keperluan sekolah, kuliah, atau sekedar menemukan buku dengan harga bersahabat di kantong. Pasar ini memiliki kisah yang cukup panjang, beberapa kali pernah direlokasi oleh pemerintah demi ketertiban.

Tumpukan buku di kios Ida (Foto : Khusnul Arifin)

“Tahun 2013 direlokasi dari Titi Gantung ke Jalan Pegadaian, lalu direlokasi kembali ke bagian Timur Lapangan Merdeka di 2017. Lalu direlokasi lagi di sini tahun lalu,” ujar Ida sembari merapikan buku dagangannya.

Nama Titi Gantung seakan sudah melekat dengan lapak para pedagang buku bekas ini, sehingga walaupun sudah mengalami beberapa kali relokasi, penggunaan nama Titi Gantung tetap eksis hingga saat ini.

Berdasarkan penjelasan dari laman website Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah Kementerian PUPR, relokasi memiliki makna sebagai pemindahan sebagian atau seluruh aktivitas berikut sarana dan prasarana penunjang aktivitas dari satu tempat ke tempat lain guna mempertinggi faktor keamanan, kelayakan, legalitas pemanfaatan dengan tetap memperhatikan keterkaitan antara yang dipindah dengan lingkungan alami dan binaan di tempat tujuan. Proses relokasi para pedagang dari Lapangan Merdeka terjadi dikarenakan adanya proses revitalisasi Lapangan Merdeka, yang digagas oleh Pemerintahan Kota Medan.

Selama proses relokasi yang pernah dilakukan, selalu ada kontra yang terjadi. Ida menuturkan, tidak ada dana ganti rugi dari Pemko Medan, mereka hanya menyediakan tempat dan proses pengangkutan barang saja tanpa memikirkan bagaimana nasib ke depannya dari para pedagang.  

Lokasi Baru, Banyak Masalah Baru

Siang itu, pukul 13.00 WIB, sinar matahari bersinar terik menyengat kulit menyinari Kota Medan. Di pinggir jalan besar, tepat di samping rel terlihat sekelompok orang berdiri memanggil-manggil siapapun yang lewat, seakan tak perduli dengan paparan sinar matahari.

Tempat itu merupakan tempat relokasi dari pasar buku bekas Titi Gantung. Sebuah gang kecil bersebelahan dengan rel kereta api. Terlihat jajaran kios dari seng berwarna biru tersusun memanjang ke dalam, dengan buku bertumpuk-tumpuk di depan tiap kios. Beragam jenis buku dapat ditemukan di sini, buku pelajaran, novel, resep makanan, bahkan hingga majalah dewasa edisi lama.

Ida yang sedang melayani pembeli (Foto : Khusnul Arifin)

Sesekali suara melengking alarm palang pintu kereta api terdengar nyaring, cukup menganggu pendengaran. Ditambah getaran yang dirasakan ketika kereta api melintas menambah keributan yang ada. Klakson kendaraan juga tidak mau kalah, saling bersautan seakan yang paling nyaringlah pemenangnya.

Hanya ada satu akses jika ingin menuju ke tempat ini, terusan jalan satu arah dari Jl. H.M Yamin. Angkutan kota (angkot) yang melewatipun hanya ada satu trayek.

“Tempatnya agak susah, ini jalannya satu arah, gak ada angkot yang lewat. Belum lagi tempatnya agak ketutup, susah kali diliat orang,” ujar Ida menjelaskan mengenai kondisi akses ke tempat tersebut.

Bagi orang awam yang tidak tahu, memang tempat ini lumayan sulit untuk dilihat. Tertutup oleh kendaraan-kendaraan lain yang berhenti berdesak-desakan karena macet. Spanduk lecek berwarna kuning dengan tulisan mentereng “Pasar Buku Medan”, dan orang-orang yang memanggil pelanggan di depan jalan cukup membantu calon pembeli untuk menemukan lokasi tersebut.

Kios Ida berada di paling depan pintu masuk pasar buku, hanya meja dan beratapkan teratak. Di atas meja itu tersusun rapi buku-buku perkuliahan dari berbagai bidang ilmu. Ida tidak menggunakan kios di bagian dalam, sumpek katanya.

Ada total sebanyak 180 kios yang dibangun oleh pemerintah pada tahun 2022 di Jalan Hitam tersebut, akan tetapi tidak semuanya terisi oleh pedagang. Banyak para pedagang yang gulung tikar, berhenti berjualan buku bekas.

Relokasi yang dilakukan sangat berdampak terhadap merosotnya pendapatan para pedagang. Menurut Ida, akses menuju pasar buku bekas ini sangat terbatas dan lokasinya kurang strategis. Belum lagi lahan parkir yang sangat sempit, menyebabkan banyak pelanggan yang merasa kurang nyaman.

“Lahan parkirnya sempit, orang mau parkir pun susah, jadinya males kalau mau ke sini,” tutur Ida sambil menunjuk lahan parkir yang ada di depannya. Sebuah lahan parkir yang hanya muat untuk beberapa sepeda motor, pengendara mobil sudah dipastikan tidak akan bisa memarkirkan mobilnya.

Peminat Buku Semakin Sedikit

Selain kondisi tempat yang menjadi salah satu faktor menurunnya daya jual pelanggan, digitalisasi juga ikut andil dalam hal ini.

Penjualan via online lebih mengundang minat para pembeli daripada datang langsung ke tempat berpanas-panasan. Banyaknya pedagang yang gulung tikar, tidak semerta-merta karena para pedagang konvensional tidak mampu bersaing dan berinovasi dalam digital. Mereka mampu, bahkan ada beberapa yang beradaptasi menerima pesanan via Whatsapp.

Terdapat banyak faktor, salah satu faktor lainnya adalah berkurangnya minat membaca di kalangan masyarakat Indonesia saat ini. Buku menjadi hal yang membosankan, apalagi di kalangan Gen Z. Gen Z sendiri dimaknakan sebagai generasi yang lahir pada rentang tahun 1997 sampai 2012.

Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJI) yang dirilis pada Mei 2019 mengatakan bahwa Gen Z merupakan pengguna internet terbesar. Berhubungan dengan karatekteristik Gen Z yang didefinisikan dalam situs pewsearch.org bahwasanya generasi ini tumbuh dengan teknologi, internet dan media sosial.

Sosial media dengan tampilan visual bergerak jauh lebih menarik dibandingkan susunan huruf pada buku yang tidak ada visual memanjakan mata. Jikapun harus membaca, biasanya hanya bersifat rekreasi dan semata-mata karena tuntutan tugas sekolah. Belum lagi ditambah informasi dan ilmu pengetahuan juga dapat diakses dengan mudah melalui internet. E-book juga tersebar, dapat diunduh sewaktu-waktu, simpel.

Hal tersebut juga dibenarkan oleh Ida, “Zaman udah canggih, di Google tinggal ketik apa aja nemu dek, kalau buku kan agak ribet nyarinya,” dia mengatakannya sembari tersenyum tipis.

Persaingan Bisnis Tidak Sehat

Bagaikan buah simalakama, tidak hanya faktor eksternal yang mempengaruhi nelangsanya para pedagang buku, faktor internal seperti sesama penjual juga memiliki dampak. Saling sikut antar pedagang demi bertahan hidup menjadi hal lumrah.

Gerombolan pemanggil pelanggan di pintu masuk, terkadang menjadikan para pelanggan merasa tidak nyaman. Jika kalian datang ke Titi Gantung, janganlah heran jika kalian diikuti oleh 4-6 orang dan mengajak paksa untuk berkunjung ke kiosnya.

Para pemanggil pelanggan di pintu masuk eks Titi Gantung (Foto : Khusnul Arifin)

Ida selaku ketua dari P2BLM kerapkali menegur para gerombolan tersebut, mengingatkan untuk menjaga kenyamanan pembeli yang datang, namun sayangnya ucapan Ida hanya dianggap angin lalu. Seakan semakin menjadi, tidak sedikit para penjual yang menaikkan harga 2 kali lipat kepada para pelanggan demi meraup keuntungan.

“Ini yang di depan, harusnya gak boleh gitu. Orang yang mau beli pun jadi takut dibuat mereka, jadinya malah gadak yang beli. Belum lagi mereka jualinnya kadang dinaikin (harganya), kan yang beli kapok takutnya nanti ke sini lagi.”

Niat mengingatkan, tak jarang malah jadinya saling cekcok.

“Udah capek dek bilanginnya, yang ada nanti malah berantam. Kan saya ada marwah, jadi yaudahlah dibiarin aja. Kalau rezeki juga nanti pasti gak ketukarnya itu,” kata Ida, menanggapi persaingan tersebut.

Bagi Ida, demi keberlangsungan pasar buku bekas Medan, peran pemerintah kota sangatlah besar. Diperlukan perhatian lebih terhadap para pedagang buku, terkhusus terhadap prasarana yang diberikan.

admin
adminhttp://persmakreatif.com
Hai, ini saya Admin Persma Kreatif. Apakah kamu punya Pertanyaan dan Saran? Biarkan saya tau!, Kirimkan ke Email kami perskreatiftim@gmail.com atau Melalui Intagram @Persmakreatif

Related articles

Recent articles