2.1 C
New York

Sudahkah Kita Melakukan Konformitas Yang Sehat?

Published:

Berada dan menikmati sepoi angin pantai rasanya begitu nikmat, apalagi jika ditemani dengan air kelapa serta bikini yang notabene merupakan pakaian yang sesuai dengan kedudukannya. Ngomong-ngomong soal air kelapa, saya cukup menggemari minuman berkhasiat itu. Jadi, adalah hal yang salah ketika beberapa dari kalian memaksa saya menyukai kopi hanya karena banyak orang yang menyeruput dan memuji rasanya di akhir kalimat. Saya sungguh membenci itu. Apalagi jika harus dipaksa memenuhi kemauan masyarakat terhadap suatu kebiasaan yang dianggap “memiliki konteks lebih” dan dipahami sebagai suatu ketetapan yang harus dilakukan. Saya ingin bertanya, sebesar apa pengaruh kelompok terhadap pembentukan beberapa standar? Dan apakah dapat dipastikan bahwa standar yang dibentuk memiliki sisi esensial seperti menguntungkan berbagai macam pihak? Dan lagi, atas dasar apa beberapa dari kita memaksa orang-orang di sekeliling untuk melakukan konformitas dengan dalih suatu sikap atau tindakan tersebut banyak orang yang melakukannya?

Kalau dipikir-pikir, baik saya maupun anda sama-sama membutuhkan kebenaran yang fundamental. Maksudnya, apakah dapat digolongkan sebagai perilaku yang sehat ketika anda menjustifikasi bahwa kita akan menduduki jabatan tertentu hanya karena kita memiliki sistem leadership maupun isi kepala yang menakjubkan? Ah, itu hanya analogi sederhana.

Kita dikelilingi berbagai macam konstruksi. Namun mengenaskannya, kita melakukan konform terhadap kebijakan atau kesepakatan tersebut “hanya karena” banyak orang yang berdiri di atas bendera ideologi yang sama. Lantas, kita turut berspekulasi bahwa ketetapan, anggapan, atau norma tersebut sifatnya aksioma.

Memang, kebenaran jelas bersifat nisbi. Kebenaran akan dijustifikasi sebagai suatu kebenaran jika mayoritas masyarakat membentuk keyakinan atau katakan saja konsensus kolektif (realitanya seperti itu). Namun, apakah jenis kebenaran seperti itu yang kita butuhkan? Oke, saya tidak berani mengaminkan atau mengatakan tidak, terkesan sungguh subjektif bukan jika saya menjawabnya dengan dalih jawaban tersebut jelas sungguh rasional menurut saya?

Kebenaran pada akhirnya berhenti dan terbentur dalam masing-masing kepala kita. Kita dapat menentukan sendiri batas rasional sebuah persoalan. Namun, sebuah persoalan yang harus dipersoalkan layaknya soal-soal haruslah masuk akal.

Saya sebenarnya merasa cukup muak. Bayangkan saja, seberapa mengerikannya kasus korupsi jika dibandingkan dengan sebagian masyarakat yang berspekulasi bahwa apa yang sebenarnya merupakan “Konstruksi Sosial” justru dianggap sebagai kodrat atau kebenaran yang fundamental? Kedua kasus tersebut cukup layak dipersidangkan secara terang-terangan bukan? Sungguh, saya ingin tertawa dan berujar.

Bagaimana bisa kita mengatakan bahwa seekor landak termasuk ke dalam filum echinodermata bukan justru chordata hanya karena banyak orang mengatakan bahwa ia memiliki duri meskipun memiliki 4 struktur anatomis?

Nyatanya kita berada dalam kubangan konstruksi yang secara langsung mengekang dan mendikte sikap kita harus seperti apa. Anehnya, jika konstruksi tersebut secara aksioma dijustifikasi dan dipukul rata pada definisi kodrat. Beberapa dari kita cenderung panik jika tidak melakukan konformitas terhadap konstruksi sosial. Alasannya memang masuk akal. Jika kita tidak melakukan konformitas, maka dengan mudahnya masyarakat menyebut kita bersenggama dengan labelisasi “buruk rupa”. Ya, seperti dianggap aneh, kafir, serta setan-setannya yang lain. Selama kita tidak melakukan konformitas terhadap suatu keyakinan atau katakan saja ideologi kolektif, niscaya kita berpeluang besar untuk tidak dapat diterima oleh masyarakat. Namun, yang menjadi pertanyaannya adalah, sudahkah kita melakukan konformitas yang sehat?

Sudah jelas, apa yang disebut sebagai konstruksi sosial tidak sepenuhnya bersandingan dengan kebenaran fundamental nan rasional. Beberapa dari kita mampu meyakini hal tersebut seperti meyakini bahwa monyet berbeda ras dengan itik. Namun, kadangkala keberengsekan kita dipacu hanya karena “dominan” masyarakat menyuarakan apa.

Menunggangi motor gede dijustifikasi sebagai standar maskulinitas oleh sebagian besar masyarakat. Nah, apakah dengan naifnya kita melakukan konformitas dengan memaksa finansial (meskipun kasusnya kita tak berkecukupan) untuk kemudian membeli motor gede agar dapat dikatakan lelaki banget? Dalam hal ini mungkin kurang sesuai jika manusia didefinisikan sebagai makhluk berkebutuhan khusus, tapi lebih sesuai jika dikatakan sebagai makhluk berkepanikan jika tak melakukan konformitas. Dan lagi, sebagian besar masyarakat menganggap bahwa untuk menjadi perempuan tulen harus pandai memasak, menyukai bunga, anggun, lembut, serta setan-setannya yang lain. And the question is, apakah dengan kolotnya kita juga melakukan konformitas berupa paradigma personal terhadap anggapan sebagian besar masyarakat yang menyuarakan demikian?

Apakah sepenuhnya kita dapat meyakini bahwa konformitas tersebut benar-benar sehat? Jika salah satu diantara kita mengaminkan, mungkin sebaiknya kita harus berkunjung sebentar ke klinik kesehatan untuk memeriksa kinerja otak apakah telah menjalankan progjanya dengan baik.

Dan benar, bahwa pada dasarnya kita tidak bisa mengubah keyakinan masyarakat. Seperti halnya dengan kita yang tidak bisa memastikan bahwa semua orang mampu diajak untuk berpikir.

Related articles

Recent articles