14.2 C
New York

Sisi Lain

Published:

Suasana saat itu sangat ramai. Namun, bukan ramai karena pasar malam, bukan pula ramai karena sebuah festival, bukan pula ramai karena tengah merayakan lebaran dan tahun baru. Anak-anak muda dari berbagai almamater berbondong-bondong, bersorak melakukan aksi unjuk rasa. Unjuk rasa itu bermula terjadi akibat polemik pelik setelah terjadinya tragedi berdarah Gerakan 30 September tahun 1965. 

“Hancurkan orde lama!”

“Hancurkan orde lama!”

“Hancurkan orde lama!”

Protes-protes mengalir lewat mahasiswa. Namun, di tengah kericuhan dan kegaduhan itu, seorang pria paruh baya berjalan di antara kerumunan. Menoleh ke kanan dan ke kiri seolah tengah mencari sesuatu. Tak ada yang peduli dengan apa yang dicari pria tersebut, bahkan tak ada yang peduli dengan kehadirannya. Anak-anak muda itu sibuk dengan aksi protes yang mereka lakukan.

Pria paruh baya itu memperhatikan setiap rombongan mahasiswa yang lewat. Sebagian dari mereka ada yang berbaris membawa bendera merah putih dan ada pula yang tengah mengangkat spanduk besar bertuliskan ‘ Rajkat tuntut bubarkan PKI’. Pria paruh baya tersebut mencoba bergabung ke rombongan. Menepuk satu per satu pundak anak-anak muda tersebut, namun tak ada satu dia temukan wajah yang dicari.

Letih pria itu berjalan mengikuti rombongan sembari mencari wajah anaknya yang menjadi bagian dari mahasiswa pengunjuk rasa. Energi dan tenaga rasanya sudah terkuras cukup banyak, sebab umur yang sudah tak muda lagi. Semangatnya pun tidak kuat dan berapi-api seperti anak muda yang diikutinya. Dia memilih ingin minggir dan mencoba menjauh dari rombongan tersebut.

Cukup lama akhirnya pria paruh baya tersebut bisa bebas dari rombongan. Dia minggir ke pinggir jalan besar dan terduduk di bawah pohon. Dia memijit kakinya yang terasa sakit dan pegal akibat berjalan cukup jauh sembari melihat aksi unjuk rasa yang tetap dilakukan para mahasiswa itu. 

Perut pria paruh baya itu mulai terasa keroncongan. Dia teringat telah menyimpan sebungkus roti isi kacang di saku. Namun, saat setelah membuka bungkus roti dan akan memakannya, terlihat seorang tukang becak bertubuh kurus kering sehingga terlihat tulang selangkanya mengais tempat sampah mencari sisa makanan. Tergerak hati pria paruh baya tersebut untuk berbagi makanan yang tak seberapa pada tukang becak kurus tersebut.

“Pak, mari sini! Makan ini saja,” ucap pria paruh baya itu sambil membagi dua roti miliknya.

“Tidak, Pak, tidak usah.”

Tukang becak bertubuh kurus tersebut menolak tawaran si pria paruh baya, sebab dia tahu bahwa mencari makanan di tengah situasi seperti ini sangatlah sulit dan harga pokok bahan makanan juga sangat mahal. 

“Tidak apa-apa, Pak. Jangan sungkan!” ujar si pria paruh baya lagi.

Akhirnya dengan sedikit paksaan, tukang becak bertubuh kurus tersebut akhirnya mau menerima setengah bagian roti dan memakannya dengan lahap. Di saat seperti ini sembari memakan bagian roti, pria paruh baya itu jadi teringat dengan anaknya. Apakah di tengah unjuk rasa ini anak itu sudah makan? Apakah dia baik-baik saja? Rasa kekhawatiran terus menghantui pria paruh baya tersebut. Teringat dia dengan kejadian kemarin malam. Pertengkaran antara dirinya dengan sang anak. 

“Bapak anggota pejabat pemerintah mana mengerti penderitaan rakyat. Cuma haus kekuasaan. Negara ini sedang tidak baik-baik saja. Saya tidak mau hanya diam. Saya tetap akan pergi.”

“Bapak bilang tidak ya tidak! Jangan membantah!”

Namun, yang terjadi keesokan harinya sang anak tetap pergi melakukan aksi unjuk rasa dengan kabur secara diam-diam. Sebenarnya, dia mengerti apa yang tengah terjadi pada negeri ini. Hanya saja, kondisi dan situasi tidak memungkinkan mengambil keputusan cepat. Ditambah lagi penguasa di atasnya yang dia tidak ketahui apa yang telah direncanakan oleh mereka. 

Aksi unjuk rasa tetap berjalan. Hiruk-pikuk demonstrasi saat itu tak ada yang bisa menghentikan sebelum keputusan ditetapkan. Anak-anak muda itu tetap menyorakkan protes. Spanduk-spanduk berisi protes pun mereka angkat secara tegak agar si penguasa dapat membaca dengan jelas protes mereka. ‘Runtuhkan kabinet Dwikora,’ ‘Batalkan! Kenaikan Harga minjak’

Pria paruh baya itu memandang kerumunan mahasiswa yang melakukan unjuk rasa tersebut sembari mendoakan tidak ada sesuatu yang terjadi pada sang anak dan segera pulang dalam keadaan baik-baik saja. Dia pun berharap semoga kekacauan ini dapat cepat berlalu dan kondisi negara segera membaik.

ilustrasi: citra

Related articles

Recent articles