asd
23.3 C
New York

Mereka yang Dihilangkan oleh Keadilan

Published:

Dalam buku ini, penulis akan membawa kita untuk menyelami kasus penghilangan orang secara paksa. Buku ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama mengambil sudut pandang mahasiswa aktivis yang bernama Biru Laut. Pada bagian ini menceritakan bagaimana Laut dan kawan-kawannya menyusun rencana, berpindah – pindah dalam pelarian, hingga tertangkap oleh pasukan rahasia. Sedangkan pada bagian kedua dikisahkan oleh Asmara Jati seorang adik perempuan Laut. Bagian kedua ini menceritakan perasaan keluarga korban penghilangan paksa, bagaimana pencarian mereka terhadap kerabat yang tak kunjung pulang. Berusaha mencari secercah harapan tentang saudara; jika masih hidup, dia disekap dimana. Pun jika sudah mati, dimana mereka menguburkannya. Juga tentang perasaan para korban selamat, bagaimana terpenjara nya mereka atas kejadian tersebut.


Penulis mampu membuat tema kelam dalam novel, jadi menyenangkan dibaca. Pembawaan yang mengambil dua sudut pandang berbeda membuat kita dapat berempati dan memahami posisi berbagai pihak yang terlibat dalam kasus-kasus penghilangan orang secara paksa. Demi membentuk akurasi pendalaman emosi yang baik bagi pembaca saat membaca buku ini, penulis sendiri mewawancara langsung korban dan kerabat yang terlibat tragedi penculikan aktivis tahun 1998. Bahkan buku ini ditulis sebagai bentuk tribute bagi para aktivis yang diculik, yang kembali, dan yang tak kembali; dan keluarga yang terus menerus sampai sekarang mencari jawab.
“Matilah engkau mati
Kau akan lahir berkali kali…”
Dua larik puisi yang akan menyambut kita di lembar pertama (prolog) pada buku ini. Puisi merupakan sebuah teman yang akan menemani kita dalam menyusuri tiap halaman demi halaman, yang akan menjadi urat nadi dalam kisah ini.
Pada dua larik puisi itu juga Biru Laut Wibisono seorang tokoh utama dalam novel ini mulai bercerita kepada kita bagaimana ia bertemu dengan kematian setelah tiga bulan disekap. Biru Laut, seorang mahasiswa Sastra Inggris di Yogyakarta yang turut bergabung dengan Winatra, organisasi mahasiswa yang memihak pada kaum kecil seperti buruh dan petani. Dengan segala kegiatannya yang dianggap menentang pemerintahan kala itu, Laut bersama teman-teman se-Winatra dan Wirasena (induk Winatra) harus hidup dalam persembunyian. Terlebih setelah Winatra dianggap sering menjadi dalang kerusuhan, salah satunya peristiwa Sabtu Kelabu (kerusuhan di kantor DPP PDI Jalan Diponegoro). Tak hanya itu, pemerintah juga secara terang-terangan memasukkan aktivis Winatra dan Wirasena sebagai buron.


Dalam bab Biru Laut, kita diajarkan tentang perjuangan dan pengkhianatan. Seorang yang dipercaya ternyata menjadi ‘antek’ apparat, pada bab ini rasa sedih dan emosi akan memuncak. Dalam bab Asmara Jati, yang mengajarkan kita tentang kehilangan dan juga penyangkalan. Bagaimana orangtua Biru Laut masih berada dalam ‘kepompong’ yang mereka buat sendiri, menyangkal bahwa anaknya sudah tidak ada dengan terus menerus menyiapkan piring untuk Laut saat makan bersama. Bagaimana Asmara Jati, sang adik, mencoba untuk mengajak kedua orangtuanya ‘keluar dari kepompong’ dan menghadapi kenyataan yang ada, bahwa Mas Laut hilang dan tak akan pernah kembali. Bab, pada bab ini lebih banyak menghabiskan tissue untuk menyeka air mata. Karena momen penyangkalan dan kehilangannya terasa sangat nyata.


“Dan yang paling berat bagi semua orangtua dan keluarga aktivis yang hilang adalah: insomnia dan ketidakpastian. Kedua orangtuaku tak pernah lagi tidur dan sukar makan karena selalu menanti “Mas Laut muncul di depan pintu dan akan lebih enak makan bersama”. – Asmara Jati (p. 245)


Novel ini cocok dibaca untuk orang-orang yang ingin mendalami tema penghilangan orang secara paksa melalui aras psikologi korban atau bagi orang-orang yang mencari bacaan yang dapat membawa suasana. Pembaca akan terus terseret dalam permainan emosi karakter-karakternya hingga akhir cerita. Kisah dalam buku ini merupakan sepenggal dari kisah kita bersama, menjadi bagian yang tak pernah terjelaskan dan tak akan terlupakan.
Sinopsis


Jakarta, Maret 1998
Di sebuah senja, di sebuah rumah susun di Jakarta, mahasiswa bernama Biru Laut disergap empat lelaki tak dikenal. Bersama kawan-kawannya, Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Alex Perazon, dia dibawa ke sebuah tempat yang tak dikenal. Berbulan-bulan mereka disekap, diinterogasi, dipukul, ditendang, digantung, dan disetrum agar bersedia menjawab satu pertanyaan penting: siapakah yang berdiri di balik gerakan aktivis dan mahasiswa saat itu.


Jakarta, Juni 1998
Keluarga Arya Wibisono, seperti biasa, pada hari Minggu Sore memasak bersama, menyediakan makanan kesukaan Biru Laut. Sang ayah akan meletakkan satu piring untuk dirinya, satu piring untuk sang ibu, satu piring untuk Biru Laut, dan satu piring untuk si bungsu Asmara Jati. Mereka duduk menanti dan menanti. Tapi Biru Laut tak kunjung muncul.


Jakarta, 2000
Asmara Jati, adik Biru Laut, beserta Tim Komisi Orang Hilang yang dipimpin Aswin Pradana mencoba mencari jejak mereka yang hilang serta merekam dan mempelajari testimoni mereka yang kembali. Anjani, kekasih Laut, para orang tua dan istri aktivis yang hilang menuntut kejelasan tentang anggota keluarga mereka. Sementara Biru Laut, dari dasar laut yang sunyi bercerita kepada kita, kepada dunia tentang apa yang terjadi pada dirinya dan kawan-kawannya.

Laut Bercerita, novel terbaru Leila S. Chudori, bertutur tentang kisah keluarga yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, sekelompok orang yang gemar menyiksa dan lancar berkhianat, sejumlah keluarga yang mencari kejelasan makam anaknya, dan tentang cinta yang tak akan luntur.

Identitas Buku
Judul: Laut Bercerita
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun Terbit: Cetakan Kedua, Desember 2017
Jumlah Halaman: 379 halaman

Peresensi: A’liyya Putri

Related articles

Recent articles