asd
20.1 C
New York

Merawat Sejarah Kemerdekaan Indonesia dengan Literasi Jurnalistik

Published:

Mendengar kata Jurnalistik tentunya tidak asing lagi di telinga. Kegiatan yang berkaitan dengan pers, berita, informasi, maupun rekam peristiwa ini menjadi instrumen bagi massa untuk memperoleh kabar atau isu yang sedang dicari. Mendapatkan informasi maupun berita hangat, kini mudah diakses dari mana saja dan kapan saja. Padahal dulunya di Indonesia, berita disampaikan melalui perantara dari mulut ke mulut saja, yang kemudian mengalami perkembangan dari masa ke masa.

Dunia jurnalistik di Indonesia dibagi menjadi tiga masa, yakni Jurnalistik Kolonial, surat kabar milik Belanda bernama Bataviasche Nouvellesd. Jurnalistik Cina, surat kabar milik keturunan Tionghoa. Jurnalistik Nasional, milik anak bangsa asli Indonesia sebagai media perjuangan dan alat pergerakan kemerdekaan.

Proklamasi kemerdekaan pada saat itu disebarluaskan melalui media jurnalistik. Melalui surat kabar dan siaran radio, juga selebaran poster dan pamflet-pamflet yang betebaran di gerbong-gerbong kereta api, pemasangan spanduk di seluruh penjuru kota hingga sampailah kabar gembira tersebut kepada seluruh rakyat Indonesia.

Jika dipikir-pikir, dari mana penulis tahu perihal tersebut? Apakah benar adanya atau hanya mengada-ada belaka? Tentu saja dari hasil mencari sumber informasi terpercaya. Dari buku-buku, artikel, situs/portal berita terverifikasi, surat kabar lama, dan peninggalan sejarah lainnya. Informasi tersebut disajikan dan dikemas oleh jurnalis dalam bentuk yang begitu mudah dicerna. Peliputan setiap kejadian meninggalkan jejak sejarah bagaimana tempo dulu para pahlawan memperjuangkan kemerdekaan di atas penjajahan. Kini adanya deklarasi tersebut guna dikaji dan dipelajari kembali oleh generasi- generasi sebagai landasan menghadapi tantangan reformasi. Begitulah jurnalistik menjaga peristiwa-peristiwa sejarah agar tidak rusak dan tidak mentah-mentah dilupakan. Tidak rusak dalam artian tidak ternodai dengan berita palsu, apalagi hoaks.

Agar tak tergerus hoaks, apalagi mispersepsi, perlu adanya kesadaran dalam berliterasi. Sebab, apabila termakan berita-berita murahan akan memicu timbulnya malametaka seperti tercerai-berainya massa, hingga berujung pada perpecahan yang membahayakan diri lantas negeri ini.

Menurut pandangan penulis, informasi dari media yang dimuat oleh jurnalis masih menjadi pilihan utama bagi khalayak untuk memperoleh informasi yang cepat, tepat dan akurat. Para jurnalis memiliki keistimewaan. Setiap tulisan yang diterbitkan, baik itu di media cetak maupun elektronik harus memenuhi kekuatan hukum, budaya maupun sosial/keagamaan. Itu semua tercantum dalam undang-undang, baik UU Pokok Pers maupun UU ITE. Tanpa terkecuali, semua harus tunduk dengan aturan. Oleh sebab itu, seorang jurnalis harus rajin membaca atau mengkaji sebuah permasalahan yang akan ditulisnya dan lebih penting lagi memiliki literasi mumpuni untuk membangun sebuah informasi.

Begitu pula massa sebagai konsumen media, harus memiliki kemampuan dan keterampilan untuk memahami, menganalisis, menelaah dan menimbang isu atau sebuah peristiwa yang begitu cepat dan ragam tersebar. Kemampuan dan keterampilan tersebut didapat dengan cara berliterasi. Literasi jurnalistik yang cukup krusial bagi generasi untuk merawat sejarah. Selain sebagai upaya menjaga kebenaran, juga supaya berpikir kritis. Publik jangan lagi mispersepsi, sampai-sampai percaya pada sejarah yang dibungkus dengan cerita palsu. Pahamilah bahwa sebuah informasi mengandung hal yang penting dan benar.

Literasi jurnalistik juga dibangun guna melatih cara berpikir dan bertindak selayaknya jurnalis. Setiap orang mestinya turut menjadi penyebar informasi yang benar. Ingatlah! Indonesia pernah dijajah, jangan sampai sampai dijajah kembali. Itulah pentingnya jurnalistik dalam sejarah, biar tidak dilupakan, selalu diingat dan dipelajari dengan berliterasi.

Kru : SSAR

Related articles

Recent articles