asd
23.2 C
New York

Kasus Pelecehan dan Budaya Patriarki di Indonesia

Published:

Dewasa ini, banyak terjadi kasus yang merugikan kaum perempuan di Indonesia. Berbagai jenis kasus seperti pelecehan seksual, kekerasan rumah tangga, penganiayaan, dan sebagainya. Kasus-kasus tersebut muncul silih berganti diberitakan baik melalui media massa, media cetak, maupun platform sosial media. Tidak hanya di lingkungan masyarakat, kasus seperti pelecehan seksual malah marak terjadi di lingkungan pendidikanĀ di Indonesia. Menurut laporanĀ Komnas Perempuan per 27 Oktober 2021, tercatat sebanyak 51 kasus pelecehan seksual yang diterima sepanjang 2015-2020.

ā€‹Dilansir dari Owntalk.co.id, beberapa kasus yang menggemparkan dunia pendidikan sejak awal 2022 di antaranya yaitu kasus pemerkosaan belasan santriwati di Bandung oleh Herry Wirawan. Kini, pelaku diberi sanksi hukuman mati.  Kasus tersebut meninggalkan trauma mendalam bagi para korban dan keluarga, beberapa di antaranya bahkan ada yang hamil. Kasus berikutnya yaitu pelecehan seksual di kampus Unesa yang dilakukan oleh dosen pembimbing skripsi kepada mahasiswinya. Ada juga kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang pemuka agama asal Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan yang diduga mencabuli 11 perempuan. Selain itu, kasus pelecehan yang menimpa aktivis kampus UMY yang melibatkan 3 korban perempuan yang terungkap pada Januari 2022. Pada 12 Januari 2022, media sosial juga digegerkan dengan kasus penjualan foto dan informasi pribadi 10 mahasiswi UI  ke akun dewasa di Twitter yang dilakukan oleh temannya sendiri. 

ā€‹Menilik dari beberapa kasus tersebut, muncul berbagai kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Siapakah yang sepenuhnya salah? Apakah pelaku pantas mendapatkan sanksi yang diberikan? Tidak sedikit dari masyarakat masih meributkan masalah pakaian yang dikenakan korban. Banyak yang mengatakan bahwa kasus pelecehan muncul karena korban mengenakan pakaian kurang sopan. Ini menimbulkan victim blaming, seakan-akan korban yang salah. Padahal menurut data statistik The Daily Aztec, tidak ada hubungan dan keterlibatan pakaian korban dengan kasus pelecehan. Pameran baju penyintas kekerasan seksual di Bandung juga membuktikan bahwa pakaian bukan faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual, karena sebagian besar setelan baju yang dipamerkan termasuk dalam kategori tertutup. Hal ini harusnya dapat merubah mindset masyarakat untuk tidak menyalahkan korban dengan dalih pakaian yang dikenakannya. 

ā€‹Terkait mengenai sanksi yang diterima oleh pelaku, beberapa ada yang terbilang masih tidak adil dan malah merugikan pihak korban, baik itu secara psikis maupunpsikologis. Contohnya saja kasus pemerkosaan belasan santriwati di Bandung oleh Herry Wirawan yang pada akhirnya diberi sanksi hukum mati. Lantas apakah sanksi tersebut bisa dibilang adil, terkhusus bagi para korban tersendiri?

ā€‹Menurut Adami Chazawi dalam buku Pelajaran Hukum Pidana I, hukuman mati dalam istilah hukum dikenal dengan uitvoering. Hukuman atau pidana mati adalah penjatuhan pidana dengan mencabut hak hidup seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang yang diancam dengan hukuman mati. Dalam hal ini,  berdasarkan UU No.2/PNPS/1964 mengenai tata cara pidana mati, Herry Wirawan dihukum mati dengan cara ditembak. 

ā€‹Jika memahami dari sisi korban, sanksi hukuman mati terbilang bukanlah sanksi yang adil. Para korban mengalami trauma psikis dan sosial setelah mengalami tragedi pemerkosaan. Hal tersebut berlangsung dalam jangka panjang bahkan seumur hidup. Belum lagi masalah finansial yang ditanggung para korban yang telah hamil. Trauma tersebut juga berlaku secara sosial. Status para korban akan dipandang rendah oleh masyarakat, bahkan bisa saja mendapat cemoohan dan perlakuan tidak baik dari beberapa pihak. Sementara bagi pelaku sendiri, kehidupannya telah usai akibat hukuman mati, dengan kata lain hanya tinggal nama. Pelaku tidak akan pernah merasakan atau mengalami trauma yang dirasakan korban. Berbagai hukuman dan sanksi sosial tidak akan dialami oleh pelaku. 

Beberapa orang menyetujui hukuman mati merupakan hukuman yang pantas diberikan bagi pelaku. Namun jika ditelaah, bukankah pelaku harusnya merasakan trauma yang dirasakan korban selama hidupnya? Bukankah lebih baik jika pelaku yang mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat? Bukankah lebih pantas jika pelaku selalu dibayang-bayangi oleh dosa dan kesalahannya di dalam penjara hingga mati membusuk dibandingkan mati begitu saja?

ā€‹Masih banyak sanksi pelaku pelecehan di Indonesia yang terbilang kurang adil bagi para korbannya sendiri. Contoh lain adalah kasus pelecehan seksual di kampus Unesa yang dilakukan oleh dosen pembimbing skripsi kepada mahasiswinya. Dalam hal ini, pelaku hanya dinonaktifkan dari statusnya sebagai dosen, bahkan beberapa pengaduan yang diberikan korban tidak diakui padahal sudah banyak fakta-fakta yang didapatkan. 

ā€‹Fenomena ketidakadilan tersebut banyak disebabkan oleh budaya patriarki yang masih terbilang tinggi di Indonesia. Patriarki dapat didefinisikan sebagai sebuah budaya atau sistem sosial yang menjadikan pria memiliki kekuasaan lebih tinggi dibandingkan perempuan di berbagai bidang, baik itu politik, sosial, ekonomi, bahkan otoritas moral.  Kesenjangan sosial ini menyebabkan perempuan di Indonesia mengalami hambatan dalam menyuarakan hak-haknya. 

ā€‹Pelecehan seksual bisa saja terjadi pada siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Namun dengan mengakarnya budaya patriarki di mana laki-laki dianggap lebih kuat dan berkuasa, maka kasus pelecehan seksual cenderung sedikit di kalangan laki-laki. Menurut Rais Abdillah, stigma maskulinitas dalam budaya patriarki menyebabkan laki-laki mampu melakukan perlawanan terhadap pelecehan seksual, atau sebagian besar malu untuk melaporkannya sehingga lebih memilih untuk bungkam.

ā€‹Budaya patriarki yang memandang bahwa perempuan merupakan makhluk lemah menyebabkan para korban pelecehan seksual merasa terundung dan tidak berani melaporkannya. Hal ini bisa dilihat dari fenomena victim blaming yang banyak terjadi di Indonesia, baik secara nyata atau melalui media sosial. Alih-alih melindungi dan menyemangati, ternyata masih banyak yang menyalahkan korban, terutama dalam segi  berpakaian. Jika hal ini terjadi secara terus-terusan, maka kasus pelecehan dan bahkan kekerasan seksual akan semakin menjamur.

ā€‹Oleh sebab itu, diĀ samping peranan pemerintah dalam menangani kasus pelecehan seksual. Masyarakat Indonesia juga harus bisa melawan budaya patriarki secara perlahan agar tercipta keadilan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Para korban harusnya dirangkul dan dilindungi.Ā Ada baiknya kampanye anti pelecehan seksual dan kesetaraan gender semakin diperluas, baik itu di dunia pendidikan, dunia kerja, ataupun masyarakat umum. Semakin banyakĀ masyarakat yang sadar akan bahayanya patriarki, maka diharapkan kasus-kasus pelecehan semakin berkurang.

Kru: Salamah Harahap

admin
adminhttp://persmakreatif.com
Hai, ini saya Admin Persma Kreatif. Apakah kamu punya Pertanyaan dan Saran? Biarkan saya tau!, Kirimkan ke Email kami perskreatiftim@gmail.com atau Melalui Intagram @Persmakreatif

Related articles

Recent articles