2.1 C
New York

Bulan Suci Ramadhan, Siapa yang Istimewa?

Published:

Perempuan memiliki hak-hak substantif, sejatinya pada kehidupan ini tidak ada perbedaan kelas dan derajat antara laki-laki dan perempuan seperti yang diperjuangkan para kaum feminis. Mereka memperjuangkan kesetaraan hak dan akses antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap telah sukses saat mampu mengaktualisasikan diri di semua sektor publik layaknya kaum laki-laki. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki peran vital di dalam kehidupan. Kemuliaan yang ada pada keduanya adalah ketaataan untuk melaksanakan setiap perintah-Nya dalam menjalankan kewajiban masing-masing. Karena itu setiap insan di muka bumi diberikan keistimewaan dengan ketentuan yang berbeda-beda. Keistimewaan dimiliki oleh siapa saja tidak hanya dibandingkan oleh derajat, tahta, dan indikator capaian finansial yang didapat, melainkan keistimewaan yang akan diperoleh ketika mereka mampu melakukan hak-haknya sebagaimana semestinya.

Ulasan demi ulasan kian beredar di masyarakat tentang keistimewaan perempuan yang mendapat hak khusus (Istimewa) saat bulan suci Ramadhan. Mobilisasi opini publik akan keistimewaan perempuan saat bulan suci Ramadhan ini ditafsirkan seolah keistimewaan hanya akan datang kepada perempuan saja. Perspektif masyarakat tersebut berkembang menjadi hak substantif tentang keistimewaan yang berpegang teguh pada prinsip jenis kelamin. Siapakah yang apabila datang bulan Ramadhan, boleh untuk tidak menggenapkan satu bulan puasa namun tetap bersikap seperti layaknya orang berpuasa, yaitu wajib membayar puasa di lain hari meski ia tidak menginginkannya semua itu? Jawabannya adalah perempuan. Figure yang memiliki peranan sangat penting dan keberadaannya dapat dikatakan sebagai makhluk multifungsi dalam situasi apapun. Kondisi ini terjadi bagi perempuan yang sedang haid.

Siklus bulanan perempuan (haid), memiliki konsekuensi tersendiri bagi perempuan dalam hubungannya dengan kewajiban berpuasa Ramadhan. Apakah hanya karena kondisi tersebut menjadi keistimewaan bagi perempuan? Bukankah keistimewaan yang diperoleh di bulan Ramadhan menjadi hak seluruh umat muslim di seluruh dunia baik laki-laki maupun perempuan?
Asumsi dan tren masyarakat yang berkembang menjadikan pemaknaan kata “istimewa” menjadi parodi kebanggan dalam menjawab persoalan “Mengapa perempuan diperbolehkan tidak berpuasa?” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “istimewa”memiliki makna, (1) khas (untuk tujuan makna dan sebagainya yang tentu); khusus, (2) lain dari pada yang lain; luar biasa, (3) terutama; lebih lebih. Secara luas, pemaknaan kata istimewa mentikberatkan kepada suatu hal yang khas atau khusus yang didapatkan oleh subjek tertentu. Makna istimewa yang dimaksud dalam hal hubungan perempuan dengan siklus bulanannya adalah kondisi khusus yang memperbolehkan perempuan untuk tidak berpuasa. Dengan kata lain mereka berada dalam (perlakuan khusus) karena mereka tak perlu menjerit (meski mungkin hanya dalam hati) karena jerih payah menahan lapar dan haus. Kondisi inilah yang dimaksudkan dalam pemaknaan perempuan sebagai makhluk istimewa dalam artian sempit.
Disamping kata istimewa yang terselip, ada beberapa makna yang harus dipahami lagi. Salah satunya adalah kewajiban perempuan untuk mengganti hutang-hutang puasanya pada hari lain diluar bulan suci Ramadhan. Di saat itu pula, orang-orang bebas makan dan minum di depan mereka tanpa perasaan malu, apalagi perasaan bersalah karena memang bukan di bulan Ramadhan. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi mereka karena situasi puasa tidak sekondusif puasa di bulan Ramadhan. Ya, pasti lebih berat tentunya. Selain itu mereka juga akan kehilangan momen-momen penting penuh rahmat di bulan Ramadhan dengan tidak bisa melakukan ibadah yang dapat dilipatgandakan pahalanya. Sungguh nahas.

Ada beberapa hal fundamental yang menjadi pijakan perempuan dapat dikatakan sebagai makhluk istimewa. Walau dengan kondisi siklus bulanan yang datang kepada wanita saat Ramadhan, mereka bisa melakukan beberapa hal kecil yang menjadikan amalan dan ibadah untuk mereka. Seperti, membangunkan dan menyiapkan sahur bagi sanak keluarga, menyiapkan berbuka puasa serta mengontrol diri untuk menjaga perasaan yang berpuasa dengan tidak makan dan minum di depan orang yang berpuasa.

Apabila dibandingkan dengan hak substantif keistimewaan laki-laki saat Ramadhan. Dapatkah laki-laki dikatakan sebagai makhluk istimewa sebagaimana (semestinya) perempuan dikatakan sebagai makhluk yang istimewa juga? Ketentuan-ketentuan yang dimiliki oleh perempuan jauh berbeda dengan ketentuan-ketentuan yang dimiliki laki-laki. Namun Jika dikaitkan dengan subjek yang memperoleh hak istimewa saat bulan Ramadhan, maka seluruh umat muslim (baik laki laki maupun perempuan) dapat dikatakan sebagai makhluk istimewa ketika datangnya bulan suci Ramadhan.
Laki-laki memperoleh hak khusus (istimewa) saat Ramadhan dengan tidak diberikannya siklus bulanan layaknya perempuan. Dengan kata lain, mereka dapat menjalankan puasa secara penuh tanpa menghawatirkan untuk mengganti puasa diluar bulan Ramadhan. Selain itu laki laki seharusnya juga dapat melakukan amal ibadah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan perempuan dikarenakan keistimewaanya tersebut. Jangan hanya menjustifikasi bahwa hanya kaum hawalah yang memperoleh hak istimewa saat Ramadhan hingga menghilangkan labelisasi hak substantif Kaum Adam yang juga memiliki keistimewaan, sama seperti perempuan dalam menyambut bulan Suci Ramadhan. Setiap mukmin yang baligh dan berakal memiliki keistimewaan mereka sendiri sebagai balasan takwa menyikapi bagaimana mereka memanfaatkan dengan sebaik-baiknya keistimewaan tersebut.

Related articles

Recent articles