asd
23.3 C
New York

Antara Kuliah Daring dan Konstruksi Berpikir Orang Tua

Published:

Bermain sehat nan higienis di dalam rumah dengan pengawasan ibu dan hand sanitizer memang (bagi beberapa anak-anak) tak seasyik bermain di luar dengan orientasi tempat lebih beragam seperti sungai, sawah, lapangan, water boom, atau bahkan rumah teman. Juga jika kita mempersoalkan beberapa dari mereka yang berdiri sebagai kaum pejuang asmara alias remaja tentu lebih memilih berjalan-jalan ke mall, cafe, kampus, sekolah, serta tongkrongan daripada harus mengurung diri di rumah (pengecualian kepada si dia yang sedang dilanda galau berat, introvert, atau yang sedang menjabat sebagai pimpinan dan anggota di organisasi kaum rebahan). Tentu mengurung diri di rumah jelas lebih mengasyikkan sehingga mereka akan menghimpun atensi terhadap kegiatan tersebut.

Bagaimana bisa kita menghimpun respon apatis jika kita melihat kasus yang menjadi perbincangan hangat seantero dunia (bahkan perbincangan kekalahan Liverpool dari Watford dan Atletico Madrid kalah menggemparkannya)? Yep, kasus tersebut adalah menjelmanya Covid-19 yang berhasil menjadi momok menakutkan bagi penduduk seantero dunia. Nongkrong sedikit bahas Corona, julid sedikit bahas Corona, marah sedikit bahas Corona, hingga jangan sampai anda bilang bahwa bercinta pun tetap membahas Corona.

Dewasa ini, pemerintah juga melayangkan kebijakan agar kegiatan mahasiswa di kampus dialihfungsikan, yang awalnya tatap muka menjadi pembelajaran dalam jaringan (mengingat dunia berumur tua menyebalkan ini tengah menginjak era disurpsi digital). Saya ingin menghela tawa puas karena kita diberuntungkan dengan canggihnya teknologi serta setan-setannya yang lain. Tak hanya itu, mungkin dengan kesombongan yang hakiki beberapa dari kita ingin meneriakkan “Ma, Pa, this is my generation! Come on, lets make this complicated generation more fun, shall we?” Sungguh menyenangkan bukan? Ah, sepertinya terlalu berharga jika kita digolongkan sebagai manusia durhaka karena mengucapkan kalimat tadi kepada orang tua.


Menyikapi kuliah berbasis daring sebagai alternatif pembelajaran saat merebaknya kasus Covid-19 yang menjadi sugesti kolektif ini, memang adalah hal yang cukup baik jika dikategorikan sebagai rencana alternatif. Karena mengingat statement publik yang mengatakan bahwa hal tersebut memperkecil kemungkinan seorang mahasiswa terjangkit virus Corona (jika mahasiswa tidak kelayapan sih). Instrumen-instrumen seperti Sipda, Edmodo, Schology, Google Class Room, atau medsos seperti WhatsApp group, Line, atau Mobile Legend dimanfaatkan dalam perkuliahan daring ini. Untuk aplikasi terakhir yang saya sebut adalah pengecualian.


Hal tersebut cukup efektif sebenarnya. Kelas dialihfungsikan ke dalam instrumen tersebut. Mahasiswa dituntut stay online jika kelas dimulai sampai waktu yang telah disepakati. Namun disamping itu, beberapa dari kita lupa bahwa orang tua juga menuntut agar stay membantunya. Dengan premis “Jangan main handphone saja”. Hey! Anda sebagai mahasiswa yang menetap di indekos mungkin tak merasakannya. Tapi mungkin anda mendapatkan gambarannya, sih. Kami selaku mahasiswa rumahan plus memiliki orang tua korban konstruksi bahwa memegang handphone selalu memiliki orientasi pada game mungkin menjatuhkan air liur melihat kalian mahasiswa indekos yang kuliah daring dengan lepas kontrol inderawi orang tua. Bagaimana bisa kuliah daring semenyebalkan ini? Mungkin bukan terletak di kuliah daringnya yang memiliki posisi sebagai rencana alternatif, mungkin lebih terletak pada beberapa respon orang tua dan masyarakat melihat kita yang stay staring terhadap handphone.


Kasus tersebut sungguh meresahkan. Nyatanya beberapa orang tua dan masyarakat yang menjadi korban konstruksi terhadap pemberian stigma bahwa generasi sekarang adalah generasi yang apatis, memegang handphone dikategorikan sebagai penyakit sosial, serta seringnya beberapa dari mereka yang membanding-bandingkan generasi mereka terhadap generasi sekarang. Ya iyalah berbeda! Wong zaman juga berkembang, kok. Lah piye toh. Sakitnya tuh jika kita menemukan manusia korban konstruksi yang mengatakan bahwa generasi dulu lebih baik daripada generasi sekarang secara general. What?!! Are you seriously?
Oke, kembali pada topik. Beberapa dari kami yang merupakan mahasiswa rumahan selalu dilanda keresahan dan jengkel saat kelas daring dimulai. Bagaimana tidak? Memegang handphone saja (jika kasusnya memiliki orang tua korban konstruksi) langsung ditatap horor. Kononlah memegang handphone dalam waktu satu SKS, dua SKS, atau bahkan lebih. Omelan-omelan seperti “Percuma libur, kerjaannya main hp mulu!” turut menyemarakkan telinga yang penuh dengan gempita ini. Baiklah, mungkin ada yang memiliki orang tua yang pengertian setelah dijelaskan bahwa kuliah diganti dengan basis daring. Jika ada yang memiliki orang tua yang tak seperti itu? Apalagi mereka (orang tua maupun masyarakat) penganut setia atau adore a social system yang akut. Pasti alasan apapun selalu terbentur terhadap konstruksi itu atau bahkan tak berterima dengan tindak pikir mereka. Beberapa dari mereka tetap berpijak pada konstruksi tersebut yang dianggap aksioma, untuk kemudian seenak jidat menstigma siapapun yang memegang handphone dalam waktu yang relatif lama versi mereka merupakan manusia hina. Sungguh, resah rasanya.

Momok Covid-19 bahkan kalah mengerikannya dengan kasus konstruksi mereka terhadap tindak respon seseorang yang memegang handphone. Tolong mengertilah. Kami ingin menjalankan perkuliahan sebagaimana mestinya, kami ingin mendapatkan nilai sebagaimana mestinya, dan kami juga ingin bermuka dua kepada dosen di room chat dengan sebagaimana mestinya. Siapapun yang bermain handphone tidak selamanya ia membuka games, membuka sosmed, dan menonton video porno. Untuk itu, betapa kejamnya jika anda menstigma demikian dan menilai buruk kami. Pak/Bu/Palek/Bulek/dan masyarakat yang tercinta, disini kami belajar, jadi jangan mudah menstigma, memandang buruk, dan menghimpun interpretasi mentah. Tolong, ya. Jika kalian pengertian, ahhh jadi sayang, deh.

Related articles

Recent articles