3.3 C
New York

Temaram Jingga di Penghujung Hari Banda Aceh

Published:

Medan, Persma Kreatif-Bagi kaum minoritas seperti saya, kekhawatiran sempat hadir dalam benak saya ketika hendak menginjakkan kaki di Kota Banda Aceh.  Sebuah kota yang terletak dibagian barat Indonesia yang dikenal sangat menjaga tradisi religius Islami. Namun, Kekhawatiran itu hilang  ketika diri ini sudah menginjakkan kaki disini. Banda Aceh tidak semenakutkan yang saya lihat di media massa, kota indah beragam budaya dengan toleransinya yang luar biasa. Bak teman lama, aku disambut dengan senyuman hangat.

Banda Aceh yang merupakan Ibukota Provinsi Nangroe Aceh Darusalam yang terkenal dengan julukan “Serambi Mekkah”  dikarenakan dulunya daerah Banda Aceh menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Indonesia. Kota yang telah berumur 803 tahun ini tidak hanya kental akan adat istiadat, kesenian dan budayanya saja, namun juga memiliki sejuta cerita di setiap keindahan sudut kotanya. 

Destinasi wisata yang pertama kali saya kunjungi adalah Alue Naga. Sesuai dengan namanya, Alue Naga adalah sungai berkelok-kelok dimana hulunya akan menuju ke laut lepas. Konon katanya, Alue Naga terbentuk dari badan naga yang terlepas dari kepalanya ketika melawan seorang raksasa.   

Tak lengkap rasanya bila berkunjung ke Aceh namun tidak memahami seluk beluk sertta sejarah kotanya. Museum Negeri Aceh merupakan salah satu museum terbesar di Aceh yang didirikan pada tanggal 31 Juli 1915 dan masih aktif beroperasi hingga saat ini. Hal yang paling memikat mata pengunjung adalah Iluminasi Al-Quran dengan tulisan Arab yang ditulis pada abad ke-18. Selain itu terdapat pula rumah Aceh yang dibangun menghadap kiblat yang menjadi identitas tersendiri bagi penduduk di Aceh.  

Destinasi kedua tidak kalah memukaunya. Siapa yang tak kenal dengan ikon Kota Banda Aceh yang megah, Masjid Baiturrahman. Masjid ini menjadi saksi perjuangan masyarakat Aceh, khususnya pada agresi militer Belanda II. Dibangun pada tahun 161 M oleh Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam, masjid ini pernah dibakar oleh Belanda dan dibangun kembali pada tahun 1879. Kawasan ini mewajibkan setiap pengunjung untuk berhijab dan berpakaian tertutup. Kawasan ini didesain begitu megah  mirip seperti Masjid Nabawi, mulai dari lantainya yang beralaskan marmer putih dan payung raksasa berbentuk terbalik yang turut menghiasi sekitar masjid. Hal unik lainnya merupakan toilet yang dibangun di bawah tanah dan harus melewati lorong mirip lorong penyebrangan di stasiun kereta api.

Museum kedua saya kunjungi adalah Museum Tsunami Aceh.Ada satu hal yang menarik di tempat ini, Tepat di samping  museum, terdapat sekolah Katolik Budi Darma. Yang menggambarkan minoritas juga merupakan bagian dari masyarakat Aceh. Tempat ini mengisahkan banyak peristiwa besar sepanjang sejarah yang dialami masyarakat Aceh. Ketika memasuki museum, pengunjung akan disambut dengan bangkai pesawat terbang yang bertuliskan polisi. Kami dipandu oleh seorang pria paruh baya yang tak menyebutkan namanya. Perlahan memasuki lorong dengan cahaya yang minim, kami berjalan di sebuah jembatan. Disetiap dinding disertai pancuran air yang sama derasnya dengan apa yang kurasakan mengalir dibawahku. Lorong ini dinamakan “lorong ketakutan” atau space of fear. Telingaku tak bisa mendengar apapun yang pemandu itu katakan, kecuali suara gemuruh air yang lambat laun semakin kencang bersamaan dengan cipratan air yang membasahi kepala serta tubuhku.

Setelah melewati lorong gelap, tampak sejumlah bebatuan dilengkapi dengan layar monitor yang menyuguhkan berbagai potret dokumentasi pasca tsunami melanda, siapapun yang menyaksikannya pasti terenyuh. Ruang ini disebut “ruang memori” atau  space of memory dengan total 26 batu. Satu yang sangat kuingat ialah potret gajah yang mengangkut bongkahan reruntuhan.

“Ada yang bisa dengar apa yang saya bilang di lorong tadi? Pasti gabisa ya. Nah, begitulah situasi dan kondisi ketika terjadi bencana tsunami. Sekencang apapun kita teriak atau bersuara juga tidak terdengar.” Ucap Pemandu itu.

Ia juga menjelaskan tentang parahnya kerusakan yang terjadi sehingga masyarakat yang ingin membantu kesulitan, karena akses yang terbatas baik darat, laut maupun udara. Sehingga mereka harus memanggil gajah-gajah yang sudah terlatih dari atas pegunungan untuk mengangkut bongkahan reruntuhan. Serta alasan dibuatnya 26 batu memori untuk mengenang terjadinya peristiwa tsunami pada tanggal 26 Desember 2004.

Lalu, pengunjung akan dibawa ke suatu tempat untuk menyaksikan ratusan nama-nama masyarakat yang tewas ataupun hilang pada peristiwa itu. Nama-nama tersebut berasal dari keluarga ataupun kerabat yang ditinggalkan yang bertujuan mengenang para korban. Tempat ini dinamakan “sumur doa” atau space of sorrow karena berbentuk seperti sumur. 

Kemudian kami diajak untuk menaiki lantai dua melalui sebuah lorong dengan jalan menanjak. Dinamakan “lorong keputusasaan” atau space of confuse, lorong ini dibuat karena kala itu masyarakat yang menjadi korban pasca peristiwa merasa putus asa dan kebingungan karena telah kehilangan harta benda serta sanak saudara mereka. Setelah keluar dari tempat itu, langsung terdengar melodi biola indah yang mendukung suasana. Kami kembali berjalan di sebuah jembatan yang dinamakan “jembatan harapan” atau space of hope. Jika melihat ke atas tampak langit-langit yang dihiasai sejumlah bendera dari berbagai negara dengan total 54 bendera. Lagi, pria yang memandu kami menjelaskan, bahwa bendera-bendera itu ditujukan untuk mengenang jasa mereka yang turut membantu dalam memulihkan Banda Aceh pasca peristiwa tragis itu terjadi.

Museum Tsunami Aceh juga dilengkapi dengan bioskop mini yang disebut ruang audio. Ruangan audio ini merupakan ruangan kedap suara yang menayangkan film dokumenter ketika terjadi bencana tsunami pada 26 Desember 2004. Film dibuat berdurasi 9 menit karena kala itu gempa berkekuatan 9.1 skala richter. Film ini dilengkapi dengan adegan tanggap bencana yang berguna agar masyarakat dapat mengantisipasi apabila terjadi bencana alam serupa. Di penghujung hari, saya mengunjungi salah satu destinasi wisata Lhoknga Beach. Kemegahan hamparan laut lepas serta suara indah deburan ombak yang menyapa kaki tiap pengunjung. Hembusan angin menambah suasana tenang saat berkunjung di tempat ini. Birunya laut dan langit seolah menyatu dalam satu garis lurus.  Ketika petang, pengunjung akan dimanjakan oleh warna temaram jingga yang terlukis sempurna di sebelah barat pantai sebagai penutup hari.

#dewanpers#anugerahdewanpers2023

Related articles

Recent articles