asd
23.3 C
New York

Takjil dan Spirit Usaha

Published:

Sama halnya dengan kata “mudik”, secara linguistik “takjil” merupakan leksikon yang terikat oleh spasial waktu dan temporal. Pasalnya, kata “takjil” hanya dipergunakan atau eksis saat waktu memasuki bulan suci ramadhan. Kategori makanan yang kita sebut “takjil” tidak akan menjadi “takjil” ketika tidak memasuki bulan puasa. Memang, eksistensi takjil sebagai santapan berbuka puasa cukup esensial maknanya. Banyak yang menganggap bahwa takjil merupakan suatu keseharusan (sifatnya bukan substansi, namun konstruksi berbasis glorifikasi). Hingga bagi beberapa orang takjil menjadi syarat mutlak hidangan berbuka puasa.

Sementara saat ngabuburit (yang tentu ditunggangi kepentingan seperti: menunggu buka puasa, jalan-jalan biar rasa haus terlupakan, dan lain sebagainya) juga menjadi cara yang teramat efektif untuk sembari memilih dan membeli takjil apa yang ingin kita santap sewaktu berbuka. Tentunya, takjil tersedia (di kawasan Sumut) saat waktu memasuki periode senja (pukul 16.00 -18. 30 WIB).

Selain suka cita menyambut pintu amal yang dibuka selebar-lebarnya, bulan Ramadhan adalah waktu yang paling sempurna bagi sebagian orang untuk berdagang. Salah satunya adalah menjual takjil. Gorengan, kue basah, kolak, kurma, sop buah, dll. menjadi representasi makanan paling digandrungi selama sebulan penuh. Hingga tidak heran, bahwa “penjual nama” kalah banyaknya dengan penjual takjil di pinggir jalan. Eh.

Spirit bisnis yang menjadikan takjil sebagai objek usaha tampak kentara. Penjual pun tak secara massif memiliki jenjang usia yang sama, namun berbeda-beda. Mulai dari anak-anak, remaja baru gede, orang dewasa, bahkan kalangan lanjut usia ikut menyemarakkan persaingan bisnis yang eksis perbulan itu. Kuncinya adalah, takjil siapa yang enak dan yang paling banyak menyita atensi.

Menjual takjil artinya mencari amal dalam membuka usaha di bulan ramadhan. Asal bagi sesama penjual takjil sama-sama menjalankan prinsip bisnis yang sehat. Tidak adanya iri dan dengki, tidak mengambil keuntungan yang sangat banyak, tidak saling “menciderai”, atau tidak mengembangkan narasi bahwa takjil penjual sebelah tidak halal.

Kadang, tak rela juga diri ini berdesakkan mengantre demi mendapatkan sebungkus takjil. Tapi, jika ditinjau substansi mengapa diri ini mengantri, jawabannya adalah kebutuhan. Ketika kita benar-benar membutuhkannya, maka beberapa dari kita rela berdesakkan dan mengantre. Peluang tersebut yang menginisiasi para penjual takjil mengembangkan varian dan kualitas takjil yang mereka tawarkan. Dengan kata lain, mereka senang jika kita berdesakkan, dan mereka sekuat mungkin berusaha menawarkan dan memberikan apa yang menjadi kebutuhan kita.

Dengan bekal spirit usaha dan didukung oleh modal yang cukup serta keahlian yang andal, seorang penjual takjil hanya memikirkan lokasi mana yang paling strategis untuk menjual takjil yang dibuatnya. Siapa bilang bulan Ramadhan hanya dipenuhi dengan puasanya, berbukanya, sahurnya, ngabuburitnya, “asmara” shubuhnya, dan kegiatan mencari amalnya? Jangan lupakan spirit usaha yang lahir di tengah bulan Ramadhan. Meskipun cuma musiman (usaha menjual takjil), namun spirit berusaha dalam hal ini cukup bagus dan semarak. Sesuatu yang harus dipertahankan. Siapa yang akan menjual takjil jika semua orang membutuhkan takjil?

Related articles

Recent articles