Menangkap ayam maupun sapi di WhatsApp story memang sungguh menyenangkan (meskipun sekarang tidak sering lagi, sih). Apalagi dijanjikan dengan embel-embel “foto akan dipost” jika kita berhasil menangkap hewan-hewan yang akhir-akhir ini menjadi primadona itu. Banyak orang melakukannya atas nama tren, termasuk si pengunggah yang membuat biodata hiperbolis responden. Hingga story WhatsApp sudah menjadi lingkaran titik-titik. Mager juga sih bukanya. Juga keikutsertaan tren mengenai challenge #untiltommorow dengan mem-posting foto diri beberapa pekan atau beberapa tahun yang lalu. Hal tersebut diinterpretasi sebagai manifestasi semangat agar tidak parno dan merasa takut terhadap corona virus disease 19. Yep, kedua hal tersebut merupakan suatu tindakan yang cukup terhormat daripada harus melakukan keikutsertaan yang sama terhadap kasus marginalisasi terhadap suatu jenis kelamin dan gender. Juga dalam keikutsertaan yang (dikatakan) sampah, beberapa hal dalam kasus jokes juga mesti diperhatikan. Bagaimana tidak? Jika keikutsertaan tersebut berbasis jokes seksis sehingga menjadi tren bagaimana? Apakah dengan naifnya anda mengatakan “tidak masalah, sih. Wajar, dong!”? Dengan lantang saya katakan bahwa mungkin anda kurang dukungan edukasi tinggi. Sungguh naif, sih.
Makin kesini kok makin gerah aja ya dengan konstruksi berpikir beberapa masyarakat tentang sebuah jokes. Atau, katakan saja bahwa proses interpretasi memaknai jokes sedikit mengalami penyimpangan atau pergeseran makna leksikal (yang secara fundamental humor memiliki esensi yaitu sesuatu yang lucu atau keadaan yang menggelikan hati), namun berubah kedudukan tanpa
mempertimbangkan fungsi substantifnya. Sedikit naif marilah katakan, bahwa jika beberapa dari yang lain jor-joran mengemukakan hal ini, akan dengan mudah mendapat sentimen publik (mau bagaimanapun jenis sentimennya). Bagaimana tidak? Katakanlah bahwa sebuah jokes memiliki peranan esensial dalam kasus reduksi moral atau dekadensi moral. Namun, pada kesempatan yang sama kita tidak dapat menghadang seseorang yang justru melabeli kita sebagai polisi moral atau sedang duduk di bangku S3 moralitas pula. Itu hak mereka sih (meskipun labelisasi mereka kolot).
Memang, pada dasarnya sih esensi “jokes” di masing-masing kepala kita berbeda. Namun, tulisan ini ingin sedikit menggugat. Bagaimana bisa jokes hanya dimaknai sebagai suatu hal yang lucu, lucu, dan lucu tanpa mempertimbangkan fungsi substantif berupa aspek pragmatis yang bisa saja dapat menimbulkan tindakan yang tak terarah? Masihkah hal tersebut anda kategorikan sebagai suatu jokes sekalipun memiliki representasi atau keterwakilan “lucu” dalam entitas yang nisbi? Seseorang membuat jokes “ada yang menonjol, tapi bukan bakat”. Lantas beberapa orang terpingkal karenanya (sebab mereka paham kemana merujuknya konteks jokes tersebut). Lalu, dengan tak melibatkan kinerja otak sebagai proses berpikir, beberapa orang mengikuti tren dan jokes tersebut semakin berkembang. Pertanyaannya adalah, apakah itu termasuk jokes?
Tak dapat disangkal bahwa sebagian masyarakat masih dilanda ketidaktahuan kolektif. Atau sedikit memperhalus bahasa bahwa sebagian masyarakat masih diikat pada proses berpikir mengenai standar kewajaran. Bagaimana bisa jokes berbasis seksis (dan tentu mengandung nilai pragmatik tinggi) diinterpretasi sebagai suatu jokes yang wajar? Apakah sekolot itu masyarakat tak mengetahui bahwa jokes seksis merupakan representasi dari pelecehan seksual berbasis verbal? Sebesar itu loh wajah jokes seksis. Jadi, bukan hanya jokes yang mutlak lucu, lucu, dan lucu. Jika jokes seksis semakin berkembang, maka pengaruh terbesarnya adalah semakin langgengnya pelecehan seksual berbasis verbal di muka bumi ini. Seram atau tidak pengaruhnya? Nah, jika seram mengapa sampai saat ini sebagian dari kita masih menggelontorkan jokes berbau seksis? Karena kebiasaan? Karena menganggap hal tersebut sebagai suatu hal yang wajar? Atau karena asyik sebab jokes tersebut lucu? Wahai mas-mas dan mbak-mbak yang ucul-ucul menjijikkan, sepertinya masing-masing dari kita sama-sama tahu bahwa otak diciptakan oleh yang Maha Agung untuk berpikir. Atau ada yang salah dari statement tersebut?
Kita yang berada dan menentang jokes berbasis seksis yang digelontorkan oleh beberapa masyarakat mungkin sering mendapat jawaban seperti, Ah, gitu aja baper. Padahal cuma jokes lalu Selera humormu rendah kali, sih. Dan segala jawaban tak masuk akal lainnya. Dengan segala rasionalisasi bahwa jokes seksis merupakan representasi dari pelecehan seksual berbasis verbal saya ingin bertanya, selera humor saya yang rendah atau situ yang seksis dan tak paham makna humor sebenarnya?
Berangkat pada suatu kasus yang beredar, nyatanya lewat jokes seksis banyak pihak yang merasa kurang nyaman sebab objek yang diacu oleh jokes tersebut merujuk pada tubuh seseorang atau peristiwa seksualitas lainnya. Apakah jika seperti itu (pengaruh jokes seksis yang sudah dipaparkan) anda masih ingin menggelontorkannya? Apakah masing-masing diantara anda masih berani menyampaikan suatu jokes tanpa disaring terlebih dahulu (apakah jokes tersebut sudah memenuhi fungsi esensialnya)? Jokes tidak dapat dikatakan sebagai suatu jokes jika masih ada unsur seksis atau tindak senonoh lainnya meskipun memiliki representasi lucu yang besar. Sebab, jokes akan menjadi terhormat ketika tidak timbulnya perilaku buruk nan senonoh dari nilai pragmatis yang terkandung. Untuk itu, jika kita ingin berhumor tetaplah libatkan otak sebagai inisiatornya.
Alerta! Jokes Seksis di sekitar anda.