Perut kala itu sedang keroncongan. Sekali lagi, keroncongan. Bukan dangdutan apalagi akustikan. Mungkin andil kecerobohan yang disengaja, sebab kemarin malam dengan takabur tak mengisi perut dengan sesendok nasi pun. Sebelumnya, berkumandang gosip-gosip jalanan tentang adanya wisata kuliner yang khusus menyediakan makanan di pagi hari. Yep, sederhananya hanya menyediakan sarapan. Minggu, kala jarum jam menuding angka 5 pagi, segera diri ini ingin bergegas membuktikan gosip-gosip jalanan itu. Lagi pula perut juga sudah sangat lapar dan yang mengejutkannya, “kata mereka” tempat itu pada 7 pagi sudah sangat ramai dan kemungkinan kita akan mengantri cukup besar.
Banyak yang berstatement bahwa tempat yang menyuguhkan wisata kuliner pekan sarapan itu sangat unik. “Kau akan merasakan bahwa ini bukan di Sumatera Utara, tapi di Yogyakarta atau suasana kampung yang kental sekental susu bendera cokelat.” Sedikit banyak, kalimat itulah yang disampaikan salah seorang informan dan menjadi alasan mengapa diri ini meluncur pagi-pagi buta ke tempat itu. Berbekal buku catatan, sepeda motor, isi dompet, dan perut keroncongan, diri ini memacu keberanian untuk menerobos rintik hujan yang sesekali mencicipi deras dan jarak yang jauh (Medan – Pantai Labu). Ah, tak masalah. Ini semua demi mengisi perut dan keinginan membuktikan “seberapa unik sih tempat tersebut?”
And Sh-Boom! Jika ada yang berstatement bahwa menjumpai kecoa terbang di kamar mandi sangat mengejutkan, maka diri ini dengan lugas mengatakan bahwa hal tersebut kalah mengejutkannya dengan apa yang diri ini lihat dan saksikan. Matamu akan membeliak kala melihat pengunjung pada pukul 7 pagi sudah sangat padat dan berdesakan, mulutmu akan menganga sebab tempat ini menawarkan basis kerifan lokal dan kebudayaan, lidahmu bergetar hebat karena banyaknya kuliner yang disajikan, dan oh.. betapa diri ini ingin mengungkapkan bahwa lolongan perutmu akan meminta segera diberi asupan.
Lekas kaki melangkah menuju pintu masuk. Kami ditahan dan diharuskan untuk menukar uang dengan tempu agar bisa membeli kuliner yang disajikan (fyi tempu merupakan alat tukar di sana menggantikan uang. Tempu adalah perpendekan kata dari “tempurung” yang dipotong bulat-bulat berdiameter sekitar 7 cm). Setelah menukar uang sebanyak Rp.30.000 dengan tempu, diri ini bersiap menjelajah memburu kuliner yang diinginkan. Stand-stand tradisional yang berbahan kayu dengan atap dari daun-daun kelapa masing-masing menjual jenis makanan berbeda. Para penjual semuanya memakai baju daerah. Mayoritas suku penduduk desa adalah Melayu dan Jawa. Kita akan tercengang bahwa Wisata Kuliner Pekan Sarapan Kawan Lama, desa Kampung Lama, Kecamatan Pantai Labu ini menawarkan nuansa kedaerahan. Sangat tradisional dan memicu throwback ke tahun 90-an. Mata ini akan menjumpai gethuk, tiwol, gatot, gorengan, kecepe isi, lemang, kerang rebus, es kelapa muda, es buah naga, kopi, ubi rebus, pisang rebus, telur gulung, nasi lemak, candil ubi ungu, rujak serut dan ya.. sangat tidak memungkinkan untuk meneruskannya lagi. Sebab kuliner yang disajikan sangat berlimpah. Bahkan stand-stand tradisional berjumlah puluhan. Bisa dibayangkan betapa bingungnya diri ini bukan?
Nasi lemak, telur gulung, kecepe isi, dan jus buah naga lah yang pada akhirnya menyita atensi. Pengunjung sangat banyak, tentu dari berbagai umur dan kalangan. Ada anak-anak, remaja, lansia, ibu hamil, YouTubers, pesepeda, penyandang Disabilitas dan berkebutuhan khusus, sepasang kekasih yang lagi hangat-hangatnya, bahkan berbagai komunitas turut meramaikan tempat ini. Untuk itu dengan cekatan diri ini memburu bangku kosong dan meja (yang terbuat dari kayu) agar dapat makan dengan khidmat. Rasanya begitu fantastis. Nasi uduk yang hanya seharga 3 tempu cukup gurih dan mengenyangkan , telur gulung yang seharga 2 tempu asinnya pas dan dalam porsi yang besar, kecepe isi yang begitu lembut dengan campuran kentang 2 buah berharga 1 tempu, dan jus buah naga campur degan kelapa yang begitu menyegarkan hanya seharga 2 tempu. Sangat merakyat nuansa dan harganya, menggugah atensi, plus unik dan eksentrik.
“Konsep yang disuguhkan di Pekan Sarapan ini sebenarnya hasil rekaman atau penginderaan potensi desa ini. Dari dulu jajanan yang ditawarkan sudah ada di sini, cafe saja sekarang banyak mengangkat konsep tentang perkampungan. Nah, kenapa tidak langsung di kampungnya saja kita dirikan wisata kuliner? Bagaimana kita mengemasnya adalah hal yang paling penting. Dengan kata lain packaging menjadi kunci.” Ucap Dedi Sofyan selaku penggagas Kampung Lama. Ia juga mengatakan bahwa situasi daerah yang cukup terpuruk ditambah dengan peluang pekerjaan yang semakin susah didapat menjadi faktor pendobrak keinginannya mendirikan wisata kuliner ini.
“Kami banyak menggunakan tagar sebagai konsep branding dan pemasaran. Melalui pelbagai sosial media menjadi perpanjangan tangan promosi. Dan hasilnya viral hingga seramai ini. Sudah pernah saya katakan dan diskusikan kepada mahasiswa dan penduduk setempat bahwa ini adalah sebuah peluang yang sangat besar. Kami memandang bahwa pasar pasti membutuhkan suasana berbasis kedaerahan dan tradisional seperti ini.” Tambah Dedi Sofyan.
Penjual yang menggunakan pakaian daerah di balik stand tradisional ini akan menyisihkan subsidi Rp. 200 setiap satu tempu yang diperoleh. Lebih jauhnya, tempat yang sudah didirikan sekitar 23 minggu ini, mengelola subsidi tersebut untuk gaji pekerja yang lain. Seperti yang angkat tikar, penjaga pintu masuk, dan sebagainya. “Kita sering bermusyawarah dan duduk bersama untuk mematangkan konsep, termasuk juga bagaimana membagi hasil. Dimana the real of powernya gitu? Saya katakan bahwa kekuatan itu adalah ketika masyarakat bersatu. Semua menduduki fungsi masing-masing, bekerja sama, dan membangun tempat ini dengan bersama-sama pula.”
“Kita geser sedikit nilai tradisional ke konsep kuliner. Itulah mengapa pengunjung dapat melihat stand-stand berbasis tradisional, makanannya juga kedaerahan, para penjual menggunakan pakaian adat, bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah (namun tetap menyesuaikan ke pengunjung), alat tukar kita memakai konsep tempu, dan lain-lain. Saya pikir ini produk Ekraf yang cukup baik. Kami menawarkan keunikan dan kami menawarkan konsep kuliner berbasis kedaerahan.” Tutup Pak Dedi Sofyan.
Seperti namanya, Pekan Sarapan ini buka setiap pekan. Ya, setiap hari Minggu dari pukul 06.30 WIB – 11.00 WIB. Namun, diri ini akan mengatakan bukan berarti sepekan kita tak sarapan. Tapi, kita dapat sepekan sekali mencoba sarapan di tempat wisata kuliner bernuansa kearifan lokal. Kita bisa sepekan sekali sarapan dengan berbagai macam pilihan, dengan berbagai konsep yang ditawarkan, dengan bau khas asap lemang yang dipanggang, dengan menggunakan alat tukar tempu yang menjadi pengganti uang, dengan lidah yang memilih kebingungan, dengan sembari mempertahankan kebudayaan, dengan orang-orang penuh keramahan, dengan sedikit melupakan hiruk-pikuk perkotaan, dan sebagainya yang bisa kita dapatkan di Pekan Sarapan, Kawan Lama.
“Sangat unik dan menarik. Dengan mengangkat tema perkampungan tradisional, terlihat dari bangunan berupa stan-stan makanan dan Gajebo yang didirikan, sangat kental akan suasana pedesaan. Didukung juga oleh pepohonan yang rimbun, membuat pengunjung yang berada di sini termasuk saua merasakan sejuknya dan berkesan tradisional. Dan yang paling penting, tempat ini difungsikan dengan menaati protokol kesehatan. Terbukti dengan adanya tempat pencucian tangan dengan sanitasinya di beberapa titik, pamflet-pamflet yang berisi slogan ‘Kawasan Wajib Menggunakan Masker’ dan larangan merokok, karena sudah disediakan kawasan khusus untuk para perokok. Poin terpentingnya adalah tempat tersebut sangat ramah terhadap siapapun, dibuktikan dengan adanya perhatian khusus, berupa jalur khusus bagi penyandang Disabilitas, lansia dan ibu hamil. Kesan selama berada di Kawasan Wisata Kuliner Kawan Lama itu adalah dimana kita sebagai masyarakat yang tinggal di areal perkotaan, merasa terobati dari polusi, pekikan kendaraan yang berlalu-lalang, kunjungan ramah dari rentenir dan tagihan listrik serta air yang membuat otak terkadang harus berpikir keras memutarkan pengeluaran dan pemasukan. Perasaan-perasaan itu, seperti disihir oleh kawasan bernuansa tradisional dan hijau asri ini” Ungkap Pak Zul, salah satu pengunjung wisata kuliner Pekan Sarapan.
“Dari segi makanan, soal cita rasanya harus lebih ditingkatkan lagi. Agar semakin menjadi poin-poin yang akan menaikkan rating dari tempat tersebut. Dan lagi, agar lebih ditingkatkan kembali seperti menambahkan penampilan permainan atau alunan musik-musik tradisional yang akan semakin membius para pengunjung. Dan harapannya adalah, agar Kawasan Wisata Kuliner Kawan Lama, desa Kampung Lama yang ada di Kecamatan Pantai Labu ini terus terkonservasi dan semakin meningkatkan perekonomian dari warga-warga yang ada di sekitar desa tersebut.” Tutup Pak Zul yang juga turut menutup cerita Kuliner di Kampung Lama kali ini.