asd
27.6 C
New York

Normalisasi Pelecehan Seksual: Citra Laki-laki yang Dinilai Toxic Masculinity

Published:

        Entri “citra” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rupa; gambar; gambaran; gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk; kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi; data atau informasi dari potret udara untuk bahan evaluasi; lebih jauh “citra” disebut sebagai kerangka atau gambaran yang dikirim oleh objek-objek (konkret maupun abstrak) kepada pancaindra kita dan menjadi persepsi. Citra diindikasikan memiliki keterikatan kuat dengan bentuk, penilaian, hingga interpretasi. Tak jarang jika citra kerap timbul dan muncul di tengah kasus sosial, nilai ekonomi, politik, dan berbagai hal lainnya. Berkembangnya era disurpsi sedikit banyak turut mendigitalisasikan citra dalam lingkup budaya visual. Budaya visual sendiri menurut Jhon A. Walker & Sarah Chaplin (Visual Culture: An Introduction) diartikan sebagai artefak kebendaan, bangunan dan citra, media, dan pertunjukan yang diproduksi oleh imajinasi dan tenaga manusia untuk tujuan estetika, simbolik, ritual atau politik-ideologis. Interpretasi serupa juga dikemukakan oleh Nicholas Mirzoeff (The Visual Culture Reader), ia mengklaim bahwa budaya visual sebagai budaya yang melibatkan informasi, makna dan kesenangan (pleasure) yang diperoleh lewat interface dengan teknologi visual, yakni perangkat yang didesain untuk dilihat (seeing) atau untuk memperluas penglihatan alamiah (vision) dari lukisan sampai televisi dan internet.

       Mengangkat substansi gagasan terkait pelecehan seksual, nyatanya pelecehan seksual juga merambah ke budaya visual. Seperti komentar seksis, bacotan nyinyir yang misoginis dan toxic masculinity, hingga pelecehan seksual berbasis verbal dan jokes lainnya. Pokok permasalahan yang dari dulu mengemuka adalah konstruksi berpikir masyarakat yang menormalisasi pelecehan seksual di media. Stanley J. Baran dan Dennis K. Davis (2010:17) dalam bukunya Mass Communication Theory : Foundation, Ferment and Future, berstatement bahwa sebuah sistem media seharusnya beroperasi agar dapat mengikuti atau merealisasikan seperangkat nilai sosial ideal. Tentu, media dalam perspektif ini memiliki andil secara konstruktif terhadap nilai-nilai sosial yang ada, termasuk bagaimana mengglorifikasi atau menormalisasi. Dan bagaimana seandainya jika perkembangan teknologi justru membentuk kultur digital berupa tindak menormalisasi pelecehan seksual terhadap laki-laki?

       Kasus ini sering terjadi baik di ruang publik atau di ruang media sosial. Kasus seorang laki-laki yang melaporkan bahwa dirinya “telah diperkosa” oleh perempuan dinilai miring oleh banyak masyarakat. Apa salahnya? Bukannya yang namanya kekerasan seksual tetaplah kekerasan seksual? Bukannya pemerkosaan terhadap siapa pun tidak dibenarkan? Bahkan anda tidak berhak memperkosa seseorang sekalipun orang tersebut telanjang bulat bukan? Lalu, mengapa masyarakat masih menilai miring? Hal tersebut muaranya adalah bagaimana masyarakat meyakini konstruksi citra laki-laki yang dinilai toxic masculinity, seperti gagah, perkasa, kuat, dan segala bentuk legitimasi peran maskulin lainnya. Hingga muncul narasi yang sedikit tidak masuk akal, “kok bisa sih laki-laki diperkosa?”.

        Toxic masculinity dapat didefinisikan sebagai perilaku sempit terkait peran gender dan sifat laki-laki. Dalam toxic masculinity, esensi yang lekat sebagai sifat pria identik dengan kekerasan, agresif secara seksual, dan tidak boleh menunjukkan emosi. Pernyataan yang sama termaktub pada studi yang dimuat dalan Journal of Psychology, yang mengartikan toxic masculinity sebagai kumpulan sifat maskulin dalam konstruksi sosial yang difungsikan untuk mendorong dominasi, kekerasan, homofobia, dan perendahan terhadap perempuan. Dari definisi di atas, pengertian toxic masculinity memang sesuai dengan makna harafiahnya, yakni maskulinitas beracun. Artinya, orang yang menunjukkan perilaku itu memiliki kecenderungan untuk melebih-lebihkan standar maskulin pada laki-laki. Pemikiran tersebut juga menjadi muara pada bagaimana masyarakat menyepelekan laporan korban (laki-laki) tentang kasus pemerkosaan yang menimpanya. Berbagai tanggapan yang seksis lagi toxic masculinity bermunculan. Seperti, “ngapain harus dilaporkan, sih? Seharusnya lu beruntung!”, “Menang banyak lu malah”, “lebay ah, pakai lapor-lapor segala. Baper banget”, “kalau gue yang di posisi itu, gue gak bakal lapor”, “loh, bisa ya laki-laki diperkosa?” dan masih banyak lagi.

      Peristiwa yang menuai atensi tersebut semakin mengindikasikan bahwa masih banyak masyarakat yang tak paham substansi dan tak ramah gender. Masyarakat terlegitimasi konstruksi “pemerkosaan” yang dipersempit oleh salah satu gender sebagai korban. Memang, data kasus pelecehan seksual (baik verbal maupun nonverbal) banyak terjadi pada perempuan, namun hal tersebut bukan berarti tidak berlaku juga bagi laki-laki dan menganggap sepele laporan mereka. Komentar berbasis jokes yang dilontarkan netizen (contoh konkret dapat dilihat pada kolom komentar akun Instagram pemberitaan detik.com) selalu mengarah pada “cacat logika” menginterpretasi konsep yang “ramah gender”. Jika banyak masyarakat terus begini, apakah cita-cita mewujudkan ruang aman bagi korban kekerasan seksual dapat terwujud?

Ilustrasi: Resnanda

Related articles

Recent articles