-0.9 C
New York

MENGULIK AWAL MULA ISTILAH “ORANG BATAK MAKAN ORANG”

Published:

Medan,Persma Kreatif- Tepat pukul 8.00 WIB saya dan teman-teman peserta PJTLN Pena Persma 2023 tiba di Kota Parapat, Sumatera Utara, setelah melalui perjalanan kurang lebih 6 jam dengan menggunakan bus pariwisata. Gerimis menyambut tat kala saya dan teman-teman baru saja sampai di kota yang terletak di tepian Danau Toba itu.

Selama perjalanan, kegiatan yang saya lakukan hanya tidur, sesekali terbangun karena bus yang berhenti untuk sekedar mengisi bahan bakar dan singgah untuk sholat. Setibanya di Kota Parapat, saya baru saja bangun tidur dikarenakan 4 hari sebelumnya memang kurang tidur akibat padatnya jadwal pelatihan, ditambah lagi udara pagi itu memang cukup dingin sehingga menambah kenyamanan untuk tidur dengan durasi yang lebih lama.

Tak sampai disitu, ternyata perjalanan kami masih berlanjut. Namun transportasi yang digunakan bukan lagi bus pariwisata seperti sebelumnya, melainkan sudah beralih ke kapal ferry ukuran sedang dengan 2 lantai tapi sangat cukup untuk menampung kami yang berjumlah kurang lebih 60 orang itu.
Butuh waktu kurang lebih 1 jam menggunakan kapal ferry untuk sampai ke destinasi wisata yang akan kami kunjungi ini. Selama 1 jam itu pulalah banyak hal yang kami lakukan di atas kapal, mulai dari sarapan pagi, bersih-bersih, hingga berswa foto dengan landscape danau terbesar di Asia Tenggara.

Setelah kurang lebih satu jam sampailah kami di lokasi tujuan, Huta Siallagan namanya, sebuah desa yang sampai saat ini masih berdiri kokoh dan menyimpan banyak sejarah. Disambut oleh Bapak Markito, penduduk asli Huta Siallagan, beliau mengajak kami untuk memasuki Huta Siallagan serta mengenalkan sejarah dari desa tersebut kepada kami. Dalam Bahasa Batak Toba “huta” artinya desa/pemukiman, sementara “Siallagan” adalah salah satu marga yang ada di Batak Toba. Maka secara artian Huta Siallagan adalah desa masyarakat Batak yang bermarga Siallagan.

Saat ingin memasuki desa ini, pengunjung akan disambut dengan patung dan tulisan aksara batak, konon katanya patung tersebut adalah penjaga gerbang. Sesaat setelah masuk pengunjung akan disuguhkan dengan deretan rumah adat batak yang biasa disebut dengan Rumah Bolon, berjumlah 8 unit dengan fungsi yang berbeda-beda. Ada yang digunakan sebagai tempat tinggal raja, dan ada pula yang digunakan sebagai tempat pemasungan.
Jika diperhatikan dengan seksama Rumah Bolon memiliki beberapa ornamen khas, ornamen-ornamen tersebut tujuannya bukan hanya sekedar memperindah rumah, tetapi memiliki filosofi tersendiri.

“Ornamen bonaspati atau cicak merupakan hewan yang dapat tinggal dimana-mana melambangkan karakter orang batak yang mudah beradaptasi dimanapun dia berada, ornamen panarusan atau payudara wanita yang melambangkan kesuburan, ornamen singa-singa atau patung kepala singa dan jaga dumpak atau patung dengan ekspresi menakutkan yang berfungsi sebagai penangkal roh jahat” jelas Pak Markito.

Hal yang membuat Huta Siallagan ini lebih spesial lagi karena sampai saat ini masih ada peninggalan raja yang asli berupa batu besar yang berbentuk kursi dan meja berusia sekitar 800 tahun yang dikenal sebagai Batu Persidangan. Batu Persidangan ini terdiri dari 9 kursi, yang terdiri dari tempat duduk raja, datu (dukun), dan pelaku kejahatan. Batu ini menjadi saksi bisu persidangan bagi para pelaku kejahatan. Tindak kejahatan tersebut bermacam-macam, mulai dari mencuri, membunuh, memperkosa, hingga menjadi mata-mata musuh. Hukuman yang diberikan pun tidak main-main. Jika kejahatannya kecil, maka akan diberi sanksi berupa hukuman pasung, namun jika kejahatannya tergolong berat maka akan dilakukan hukuman pancung. Bagi para pelaku kejahatan berat seperti mata-mata musuh proses persidangannya cukup panjang, awal mula pelaku akan dipasung di kolong rumah, hal tersebut bukan tanpa alasan karena atas perbuatan dan kesalahannya pelaku telah disamakan seperti binatang. Kemudian akan didatangkan seorang datu (dukun) untuk maniti ari (menentukan hari-hari yang baik) kapan pelaku akan dieksekusi, sebab tidak sembarang hari dapat digunakan untuk eksekusi.
Jika hari eksekusi telah ditentukan maka terdakwa akan digiring ke lokasi eksekusi. disana sudah ada meja dan kursi yang terbuat dari batu. Meja-meja batu tersebut menjadi saksi bisu tempat penyiksaan bahkan pemenggalan kepala. Sebelum dieksekusi, terlebih dahulu terwakwa akan ditutup matanya menggunakan ulos dan ditanggalkan seluruh pakaian dari tubuhnya untuk memastikan tidak ada jimat yang tertinggal.
Setelah itu, terdakwa akan dibaringkan di atas meja batu kemudian disiksa dengan memukul kepala dan menyayat kulitnya. Jika tidak mengeluarkan darah atau mati, itu tandanya terdakwa mempunyai ilmu hitam. Ilmu hitam tersebut harus dihilangkan terlebih dahulu dengan jeruk nipis yang ditetesi pada tubuh yang disayat tersebut.
Langkah selanjutnya adalah pemenggalan kepala. Di tempat yang telah disediakan, kepala terdakwa dipenggal oleh ulu balang (algojo). Disini harga diri ulu balang dipertaruhkan, reputasinya akan semakin meningkat jika ia mampu memisahkan kepala dan badan terdakwa dengan sekali tebas. Darah dari penggalan kepala tersebut akan ditampung menggunakan wadah yang besar.
Darah yang ditampung tersebut ditaruh ke atas meja beserta kepala dan tubuhnya. Tubunya kemudian dibelah, dikeluarkan hatinya, dipotong kecil-kecil, dicampur ke dalam darah yang telah ditampung sebelumnya, ditambah perasan jeruk nipis ke dalamnya, dan diberikan ke raja. Kemudian raja akan membagikan ramuan tersebut ke seluruh prajuritnya, raja percaya dengan meminum ramuan tersebut ilmu dan kekuatan yang dimiliki terdakwa akan pindah ke tubuh orang yang meminumnya.
Lalu bagaimana nasib tubuh dan kepala terdakwa yang telah terpisah? Kepalanya akan diletakkan di depan gerbang masuk Huta Siallagan, sebagai pemberi peringatan kepada raja lain atau rakyat agar tidak melakukan perbuatan yang sama. Setelah membusuk, kepala akan dibuang ke hutan dibalik kampung, dan selanjutnya penduduk desa akan dilarang beraktifitas di hutan selama 3 hari. Sementara badan terdakwa akan dibuang ke Danau Toba selama 7 hari 7 malam, selama itu pula para penduduk dilarang melakukan aktivitas di Danau. Setelah mendengar kisah tersebut tiba-tiba saya jadi terbayang bahwa saya tadinya telah melewati gerbang yang pernah digantung kepala manusia disana.
Dari sejarah tersebutlah awal mula muncul istilah “orang Batak makan orang.” Tetapi hal tersebut bukan serta merta terjadi begitu saja, ada proses di dalamnya, “bukan berarti semua orang yang datang ke desa tersebut ditangkap lalu dimakan. Namun ada kisah dibaliknya, dimana yang dimakan adalah bagian tubuh dari pelaku kejahatan dimana dari awal sudah disamakan seperti binatang akibat dari perbuatan dan kesalahan yang dilakukannya, dan hal ini pun sudah tidak berlaku lagi setelah orang Batak memeluk agama” ujar Pak Markito.
Begitulah nasib terdakwa malang itu berakhir, bersamaan dengan berakhirnya kisah dari Huta Siallagan, Pak Markito menunjukkan pintu keluar. Satu per satu orang yang mendengarkarkan kisah Huta Siallagan tadi bergidik keluar dan meninggalkan meja eksekusi. Saya sempatkan untuk mendekati sisa-sisa sejarah yang ada di Huta Siallagan satu per satu serta mendokumentasikannya sebagai bahan pengingat bahwa di Pulau Samosir masih ada kepingan sejarah yang masih abadi hingga saat ini.
Jalanan menuju dermaga tak jauh beda dengan jalan saya masuk tadi. Melewati penjual souvenir yang menawarkan dagangannya. Saya sempatkan membeli celana bermotif ulos lalu berlalu menuju kapal yang dengan sabar menunggu. Diiringi nyanyian Pulau Samosir, kapal meninggalkan dermaga kembali pulang membawa kisah dari Huta Siallagan.

Related articles

Recent articles