asd
23.2 C
New York

Mencari Kepingan Sejarah yang Hilang

Published:

Setiap orang memiliki masa lalu yang membawa dampak besar bagi kehidupannya sekarang.  Masa lalu itu merubah apa yang ada pada dirinya, baik itu potensi, hobi, kebiasaan, bahkan semangat hidup. Namun sebagai manusia, kita perlu untuk terus menjalani hidup ke depan dan tak mungkin larut terus-terusan pada masa lalu. Hal inilah yang dikisahkan pada novel Tere Liye yang berjudul “Selamat Tinggal”.

    Tokoh utamanya bernama Sintong, seorang mahasiswa tingkat akhir sekaligus penjaga toko buku bajakan di dekat kampusnya. Sehari-harinya Sintong menjaga toko buku sembari mencari referensi untuk mulai mengerjakan skripsi yang sudah tertinggal jauh dari teman-temannya. Dulunya sebelum menjadi mahasiswa abadi yang uring-uringan mengerjakan skripsi, Sintong adalah mahasiswa berprestasi kebanggaan dosen. Bagaimana tidak, Ia selalu produktif menulis dan tidak jarang tulisannya di muat di majalah nasional. Lalu, apa yang membuat Sintong malah tertinggal jauh dari teman-temannya? Apa yang membuat semangat menulis Sintong pudar begitu saja?

    Ya, tentu saja karena masa lalu. Kisah cinta Sintong yang pada akhirnya bertepuk sebelah tangan membuat Ia rapuh dan tidak memiliki motivasi apapun untuk menulis, bahkan untuk aktif dalam kegiatan perkuliahannya. Desakan dari orang tua dan dosennya untuk segera menyelesaikan studinya juga tak jarang membuatnya pusing. Hingga pada akhirnya Ia menemukan secercah harapan di toko buku bajakan, yaitu sepotong naskah tulisan seorang penulis revolusioner di tahun 1965, Sutan Pane. Naskah tulisan itu hanya satu dari buku Pentalogi karya Sutan Pane. Sutan Pane sendiri merupakan penulis termahsyur pada tahun 1960-an. Ia terkenal karena keberaniannya menyuarakan apa yang sebenarnya terjadi pada tahun 1950-1965. Sayangnya, tepat pada masa pemberontakan PKI tahun 1965, Sutan Pane hilang begitu saja, bersamaan dengan tulisan-tulisannya. Hal tersebutlah yang akan  dijadikan Sintong sebagai kajian dalam tugas akhir skripsinya.

    Naskah tulisan yang hilang serta informasi terbatas mengenai Sutan Pane membuat jiwa menulis Sintong bangkit kembali. Ia berusaha mencari jejak keberadaan Sutan Pane, mulai dari tulisan-tulisannya dahulu higga orang-orang yang dekat dengannya. Semangat itu juga membuat Sintong tidak terlalu memikirkan masa lalunya lagi, Ia bahkan dapat kembali produktif dalam menulis. Tulisannya yang mengisahkan tentang Sutan Pane juga membuat orang-orang seakan merasakan kembali kehadiran Sang Penulis yang telah lama hilang.

    Dalam buku ini, Tere Liye juga mengisahkan berbagai permasalahan dan gejolak kehidupan yang dialami Sintong. Seperti kisah cintanya dengan seorang gadis cantik Fakultas Ekonomi bernama Jess yang ujung-ujungnya tidak berjalan mulus. Karena bagi Sintong, mau sekuat apapun Ia membuka hati, cintanya tetap tertinggal pada masa lalunya, Mawar Terang Bintang. Konflik juga datang dari toko buku bajakan milik Paklik. Sungguh hal yang kontradiktif memang, Sintong berusaha untuk memunculkan kembali karya-karya bersejarah Sutan Pane, dimana dilain sisi Ia malah bekerja sebagai penjaga toko buku bajakan. Tapi untungnya, Sintong dapat terlepas dari dunia buku bajakan tersebut dan mulai membuat perubahan baru dengan menulis serta menentang segala hal yang berbau bajakan.

    Perjalanan Sintong dalam mencari naskah buku yang hilang tidaklah berakhir sia-sia. Dengan memunculkan ide untuk menulis sebuah cerpen yang mengandung pesan di dalamnya, Sintong berhasil menemui salah satu orang terdekat Sutan Pane. Ia berhasil menemukan naskah terakhir dari buku Pentalogi karya Sutan Pane. Ia berhasil menyusun kembali kepingan sejarah yang hilang. Dan yang terpenting, semua pertanyaan-pertanyaan Sintong terjawab sudah. 

    Hal yang menarik dari buku ini adalah judulnya sendiri. Ya, “Selamat Tinggal”. Dua kata yang berarti banyak dan sungguh menggambarkan keseluruhan isi buku. Sintong benar-benar mengatakan “Selamat tinggal” pada masa lalu yang membuatnya begitu terpuruk. Ia dapat kembali menumbuhkan jiwa penulis yang telah lama tertidur dalam dirinya. “Selamat tinggal” juga berarti banyak pada masalah realistis yang dihadirkan pada buku ini, yaitu fenomena buku bajakan. Buku bajakan sendiri merupakan masalah yang mengakar terkhususnya di Indonesia. Kita banyak menjumpai buku-buku bajakan dijual di marketplace, disebarluaskan dari WhatsApp, Facebook, ataupun link yang tersebar luas di Internet. Betapa masalah ini sangat merugikan bagi penulis karena mereka tidak akan mendapatkan hasil apapun dari karya-karya mereka. Belum lagi jika semakin banyaknya yang menjual buku bajakan, penulis bisa jadi kehilangan pekerjaannya dan kita tidak dapat menikmati karya-karya mereka lagi. 

    Oleh sebab itu, dalam buku ini Tere Liye menyadarkan kembali pada kita mengenai bahaya buku bajakan. Memang sulit, karena kebanyakan orang juga berpendapat buku bajakan lebih murah dan mudah diadapatkan. Namun jika kita memikirkan dampak buruk dan mulai mengajak orang lain untuk berhenti menikmatinya, Indonesia pasti akan benar-benar bisa mengatakan “Selamat Tinggal” pada buku bajakan. 

Kru: Salamah

admin
adminhttp://persmakreatif.com
Hai, ini saya Admin Persma Kreatif. Apakah kamu punya Pertanyaan dan Saran? Biarkan saya tau!, Kirimkan ke Email kami perskreatiftim@gmail.com atau Melalui Intagram @Persmakreatif

Related articles

Recent articles