2.1 C
New York

Lebaran Ketupat: Tradisi Jawa yang Harus Direvitalisasi

Published:

Atmosfer lebaran 1442 Hijriyah masih terasa hingga saat ini, terhitung memasuki hari ke delapan (meskipun kampus tercinta dan beberapa instansi lain mulai beraktivitas kembali). Rasanya baru kemarin umat muslim merayakan hari yang super akbar lagi esensial itu, namun kok tiba-tiba udah hari ke tujuh bulan Syawal saja, ya? Pun demikian halnya dengan kue lebaran. Spirit membuat kue lebaran masih belum hilang, tapi kok kue di rumah udah habis saja? Atau hanya kue saya yang laku, nih?

Biasanya, ketika kita mambahas mengenai hari raya Idul Fitri, ketupat menjadi semiotik yang dipahami secara kompleks. Ketupat merupakan salah satu makanan kaya karbohidrat yang terbuat dari beras dibalut anyaman daun kelapa (janur) yg masih muda. Kemudian direbus dalam waktu yang tidak begitu lama. Warna janur yang berubah menjadi cokelat menandakan bahwa ketupat sudah matang dan siap disantap (tentunya dengan ditemani karibnya seperti opor, bumbu sate, tauco, olahan gori, bahkan olahan lain yang memungkinkan). Namun, tahu nggak sih bahwa hari raya ketupat jatuh pada tanggal 8 syawal?

Keyakinan tersebut merupakan tradisi yang dari dulu berkembang di masyarakat Jawa. Dan alangkah bahagianya masyarakat Jawa saat tradisi tersebut meluas bahkan sampai ke Malaysia dan Singapura. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Jawa yang banyak merantau dan survive dimana pun berada. Sehingga eksistensi lebaran ketupat cukup banyak dikenal banyak orang. Hari raya ketupat beda dengan lebaran yang jatuh pada tanggal 1 syawal setiap tahun Hijriyah. Lebaran ketupat bukan berarti lebarannya ketupat (haha), namun lebaran ketupat merupakan bentuk syukur atas kebersamaan bahkan cinta kasih.

Lebaran ketupat dapat diperingati setiap 8 Syawal alias setelah melewati 6 hari puasa Syawal atau sepekan sesudahnya. Itu artinya, pada 20 Mei lah lebaran ketupat harusnya diperingati. Cara memperingati lebaran ketupat tentunya dengan membuat ketupat dan memeriahkan hari tersebut. Secara leksikal, lebaran ketupat berasal dari kontekstualisasi entri “ketupat” atau “kupat” yang merupakan leksikon bahasa Jawa yang berarti “ngaku lepat” (mengakui kesalahan). Sehingga tak heran jika cara memperingati lebaran ketupat ini dengan memberikannya ke orang tua, saudara, bahkan tetangga. Dengan harapan agar mereka dapat memaafkan segala kesalahan dan kekhilafan yang pernah dilakukan.

Berdasarkan beberapa literatur, lebaran ketupat pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga. Tentunya dengan ambisi dan berusaha mengkonstruksi nilai-nilai luhur lagi arif dalam sebuah perayaan. Kini, mungkin beberapa rumah sudah jarang merayakan lebaran ketupat dengan semarak layaknya dahulu. Biasanya masyarakat Jawa membuat porsi yang cukup besar lagi meriah dalam menyambut lebaran ketupat, baik masyarakat Jawa yang berdomisili di tanah kelahiran (Tanah Jawa) maupun Jawa Sumatera atau Jawa lainnya. Mereka tetap meyakini lebaran ketupat sebagai momen paling esensial meskipun sekarang entitas masyarakat yang memperingatinya tak semeriah dahulu. Untuk itu, sebagian masyarakat Jawa berpikir bahwa lebaran ketupat harus kita revitalisasi. Namun, beberapa masyarakat Jawa ada yang meyakini jika mereka tidak bisa membuat ketupat atau tidak memungkinkan untuk menghadirkan ketupat, maka mereka akan menggantinya dengan lontong. Memang hal tersebut merupakan suatu pergeseran persepsi dan budaya. Tapi yang istimewanya adalah bagaimana mereka seakan tetap menganggap bahwa lontong tersebut adalah ketupat, dan sebisa mungkin merasakan esensi lebaran ketupat meski hanya menggunakan lontong.

Selain memperpanjang umur tradisi, sisi filofis dari lebaran ketupat menjadi alasan substantif mengapa kita harus merevitalisasinya. Bentuk syukur atas kebersamaan dan cinta kasih serta mengakui kesalahan kepada saudara cukup menjelaskan filosofi lebaran unik ini. Lebaran ketupat merupakan manifestasi khazanah tradisi di Indonesia. Dengan legitimasi kultural berupa konstruksi yang mengkontekstualisasi nilai kebaikan di dalamnya, tak salah jika ada wacana persuasif terhadap tradisi ini yang harus kita pertahankan.

Related articles

Recent articles