Kebijakan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly tentang rencana pembebasan bersyarat narapidana, termasuk para koruptor, guna menekan penyebaran virus corona di lapas menjadi perbincangan hangat di publik. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) menyatakan bahwa sebanyak 22.158 narapidana dan anak di seluruh Indonesia telah dibebaskan lebih awal dengan skema integrasi dan asimilasi.
Pembebasan tersebut dilakukan sesuai dengan Permenkumham No.10 tahun 2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak. Aturan yag baru diterbitkan dengan alasan demi mencegah penyebaran virus Covid-19, terlebih populasi napi yang dibina di rutan di Indonesia yang terlalu padat. Jumlah napi dan anak yang akan dikeluarkan atau dibebaskan lebih awal adalah 30.000 orang.
Bukan berarti bisa bebas dengan seenaknya, ada kriteria yang diterapkan kepada napi yang akan dikeluarkan dan dibebaskan lebih awal yaitu napi yang telah menjalani dua pertiga masa pidananya sampai dengan 31 Desember 2020 dan anak yang telah menjalani setengah masa pidananya, juga sampai 31 Desember 2020.
Dalam rapat yang telah dilaksanakan dengan Komisi III DPR, Yasonna mengusulkan kriteria narapidana yang bisa keluar atau bebas lebih awal akan ditambah menjadi empat golongan. Di antaranya adalah narapidana kasus tindak pidana korupsi yang berusia 60 tahun ke atas dan sudah menjalani dua pertiga masa tahanan. Diperkirakan narapidana korupsi dalam kategori ini akan mencapai 300 orang.
Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), napi korupsi yang berpotensi dibebaskan akibat revisi PP No.99 tahun 2012 antara lain:
Oce Kaligis, pengacara yang menyuap Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara
Siti Fadilah Supari, mantan menteri kesehatan
Napi lainnya yang diangap besar seperti Setya Novanto, Patrialis Akbar, dan Jero Wacik berusia di atas 60 tahun namun belum menjalani dua pertiga masa pidananya.
Aktivis anti-korupsi mengecam usul Yasonna tersebut. Sebagai masyarakat Indonesia, dapatkah kita menerima hal tersebut?
“Tidak tepat logika Kemenkumham, dengan dalih virus corona, mengharuskan napi korupsi untuk bebas dengan syarat-syarat tertentu. Semua [koruptor] tidak pantas bebas, berapapun usianya,” kata Kurnia Ramadhana, peneliti ICW.
“Yang pertama, misalnya, seringkali terjadi di lapas-lapas itu napi korupsi dapat keistimewaan khusus, bahkan selnya lebih besar dibanding napi yang lainnya. Mereka tinggal saja di lapas yang justru lebih aman buat mereka [ketimbang dibebaskan].”
Menurut ICW, dari 2015-2019 Yasona ingin merubah atau merevisi peraturan tersebut pp 9 tahun 2012 syarat dan hak napi di lapas. ICW juga mengkritik Yasonna Laoly sebab ini bukanlah yang pertama kalinya ia mengusulkan revisi PP No.99 tahun 2012. Menurut penelusuran data ICW, rata-rata vonis pengadilan koruptor hanya 2 tahun 5 bulan (vonis ringan) pada tahun 2018. Padahal kerugian negara karena korupsi mencapai Rp9,29 triliun pada tahun yang sama.
“Kenapa ada ide dari Yasonna untuk membebaskan napi korupsi, seakan-akan Yasonna tidak menghargai kerja keras penegak hukum, entah itu KPK, Polisi dan kejaksaan, kalau kita kaitkan dengan niat dia untuk membebaskan pelaku korupsi,” kata Kurnia. mengutip dari bbc news indonesia (4/4/20)
“Usulan revisi PP No. 99 tahun 2012 ini seringkali diucapkan oleh Yasonna, hampir setiap tahun. Jadi kita menilai dia tidak ada keberpihakan pada upaya pemberantasan korupsi karena PP No. 99 tahun 2012 itu regulasi yang progresif,” tambahnya.
Hal ini harus menjadi pembahasan publik agar tidak adanya ketimpangan social yang terjadi sesame napi. Bahkan yang lebih mirisnya, ada napi yang sudah dibebaskan dan merayakan kebebasan mereka dengan membuat video “Tiktok”.