Apa yang lebih menusuk relung hati selain seruan rindu seorang Ibu pada anaknya? Hingga melahirkan beribu tanya, mengapa sepuluh anaknya, tak mampu mengobati kerinduannya. Atau mungkin, bagi mereka rindu hanyalah ungkapan belaka yang merepotkan.
Rosmaidah tak pernah ingin menadah pada anaknya, usianya 73 tahun. Namun, kakinya masih tangguh mengayuh sepeda menuju warung demi sesuap nasi esok hari untuk dirinya dan cucunya. Ibu dengan 10 anak ini, telah 8 tahun hidup bersama cucunya semenjak suaminya meninggal dunia.
Di tengah teriknya matahari pagi, ia mengayuh sepedanya melewati jembatan layang menuju warung tempatnya mencari rupiah dengan menjual berbagai jenis minuman seperti teh dan kopi adapula mie goreng dan kuah. Jalanan yang licin serta ban sepeda yang bocor tak lagi menjadi masalah besar baginya. Jika ban sepedanya kempis ataupun bocor, Rosmaidah menunggu pengendara yang lewat untuk meminta tolong mengantarkannya Kembali kerumah untuk mengambil pompa ban ataupun mengantarkan ke bengkel sepeda.
Rosmaidah menjajahkan dagangannya di sebuah warung kecil di tengah ladang sawit. Tentu saja warungnya tak selalu ramai, karena pembeli hanya berasal dari petani-petani yang sedang berladang juga pengendara yang tak sengaja lewat dan singgah sekedar meminun kopi atau teh.
Kerinduan kepada anaknya kian terasa saat bulan Ramadhan tiba. Semenjak suaminya meninggal dunia, Rosmaidah tidak lagi memiliki tempat untuk berkeluh kesah. Sahur bersama -sama menjadi angan yang semakin menambah kerinduannya. Tidak jarang pula Rosmaidah menganggap dirinya tidak lagi memiliki siapa-siapa padahal kesepuluh anaknya masih hidup hingga saat ini. Rosmaidah begitu memahami kesibukan anak-anaknya hingga tidak memaksa anaknya untuk menjenguknya, berbicara lewat telepon saja sudah lebih dari cukup sebagai jawaban dari pertanyaan akan sehat atau tidak anaknya itu. Namun, panggilan telepon juga tidak kunjung datang hingga yang bisa Rosmaidah lakukan hanya menunggu dan menunggu.
Suatu hari selepas sholat tarawih, kerinduan Rosmaidah begitu memuncak hingga ia menelepon anak-anaknya. Kerinduannya telah mengalahkan kesabarannya dalam menunggu hingga ia menelepon anaknya. Rosmaidah bertanya apakah dia melakukan kesalahan kepada anaknya sehingga anaknya marah dan enggan untuk meneleponnya?
“Kenapa gak nelepon-nelepon apa marah? Kok gak nelepon-nelepon..mamak kan uda gak punya siapa-siapa. mamak gak mintak apa-apa kok, ditelpon aja aku uda senang”Kata Rosmaidah
“Enggak kok mak, Mamak sehat? Mamak ada pegang uang? Jawab anaknya.
Rosmaidah selalu berusaha untuk tidak menyusahkan anaknya dari segi ekonomi. Ketika anaknnya bertanya apakah dia punya uang atau tidak, dia selalu menjawab ada meskipun tidak ada dia selalu mengatakan ada agar tidak menjadi buah pikiran bagi anaknya. Padahal berjualan tak sehari-harinya mampu mencukupi hidupnya. Jika dagangannya tidak laku,dia habis-habisan akan meng-irit.
Meskipun begitu, di lima waktunya, dia tak pernah lupa untuk membahagiakan kedua anaknya itu, Kesehatan, rezeki, juga kebahagiaan adalah kata yang tak pernah lepas dari deretan doa yang Rosmaidah tuturkan.
Di akhir bulan suci ramadhan tahun ini Rosmaidah masih menunggu di depan pintu rumahnya salah satu dari sepuluh anaknya datang menjenguknya. Dengan sabar dan hati penuh harap. Kerinduannya tidak akan pernah selesai.
Kru : Siti Maysarah