asd
27.6 C
New York

Burung Pengganti

Published:

Ilustrasi: Citra

Sudah entah berapa bulan ayah sakit. Bukan sakit paru-paru hingga menyebabkannya batuk-batuk dan sesak napas. Bukan pula sakit asam lambung maupun ambeien. Apalagi masuk angin. Bukan penyakit seperti itu. Di antara banyak, jutaan, ribuan, atau ratusan penyakit yang ada di dunia ini, ayahku menderita penyakit kepikunan. Satu per satu ayah melupakan nama-nama sanak saudaranya, melupakan menantu-menantunya, melupakan cucu-cucunya, perlahan melupakan anak-anaknya.

-****-

Hari ini hari yang membuatku berdebar telah tiba. Dengan sepeda onthel, sahabatku sejak usia tujuh tahun, yang warnanya pun sudah tak hitam mengkilap lagi melainkan sudah berwarna kecoklatan, berkarat sudah termakan waktu. Suara kletek-kletek ketika mengayuhnya menjadi teman baik perjalananku. Hingga sampailah aku di Si Aminah Laundry. Debar-debar jantung yang rasanya mau meletup menunggu si pegawai laundry jilbab hitam dengan rona pipi kemerahan mengambilkan pesananku. Rasa meletup jantungku kala sudah menerima pesanan laundry itu.

Sesampainya di rumah langsung aku mengganti pakaian dengan pakaian yang sudah aku laundry-kan itu. Kemeja putih, celana panjang hitam, dan ada pula dasi hitam di sana. Tetapi, karena tak pandai pakai dasi, jadi tak kupakai dasi tersebut. Kusisir rambut dengan rapi dan kupakai topi hitam khas pilot-pilot di pesawat. Tak lupa pula pakai sepatu hitam mengkilap yang sebenarnya agak kebesaran di kaki. Berdebar aku memakai pakaian seperti ini.

Dari jendela kamar, terlihat ayah yang seperti biasa setiap pagi dan siang menyapa anak-anak sekolah yang lewat di depan rumah. Biar begitu pun beliau masih belum lupa dengan jati dirinya yang seorang guru. Aku keluar dari kamar dan menghampiri ayah. Kusalam dan cium tangannya. Dia tersenyum lebar memandang wajahku.

“Arya…, mau kerja kau, Nak?” ujar ayah yang seperti biasa dengan suara lantang dan seraknya.

“Iya, Yah.”

“Makanlah dulu, Nak. Mamakmu sudah masak gulai lemak kesukaanmu,” ucap ayah dengan perhatian.

Rasanya hangat sekali ketika ayah mengucapkan kata-kata itu yang sebelumnya belum pernah dia begitu padaku. Aku mengangguk, tersenyum padanya.

“Bang, makan dulu!” seru mamak dari dapur seraya berjalan menuju tempat ayah terduduk di  sini. Mamak mengelus pundak pria paruh baya itu kemudian memalingkan wajahnya ke arahku.

“Bay…”

Ucapannya langsung kupotong dengan meletakkan jari telunjuk di bibir dan menggelengkan kepala ke arahnya.

“Arya, yok makan, Nak,” ucap ayah yang kujawab dengan anggukan.

-****-

Ayah menyiram kuah gulai lemak di atas nasiku. Meletakkan sepotong ikan di atas piring, mepersilakanku makan. Lagi-lagi ia menunjukkan perhatiannya padaku. Ayah yang sudah belakangan ini badannya mulai kurus. Makan tak berselera, rambut kusut, muka kusut namun hari ini wajahnya cerah dan semangat, makannya habis hingga bertambuh. Aku dan mamak senang melihatnya.

Pasalnya, awal mula ayah sakit dan menjadi seperti ini saat hari kematian Arya, abangku nomor dua. Arya adalah anak yang paling dibanggakan ayah. Bagaimana tidak, hanya Arya satu-satunya yang memenuhi keinginan ayah. Sebab, sejak menikah dengan mamak, ayah berandai-andai ingin salah satu anaknya bekerja sebagai pilot.

Sementara aku anak bungsu, paling berbeda dari abang dan kakakku. Aku tak pintar seperti mereka. Aku hanya tamat SMP dan tak lulus SMA. Aku bodoh. Rangking paling penghabisan di sekolah. Hampir tak naik kelas. IQ pun tak sampai seratus, parah, tersungkur, tiarap, melayang. Kerja pun hanya kuli bangunan. Sepeda onthel berkarat satu-satunya hartaku.

Sudah banyak aku mengecewakan ayah. Saking kecewanya, dia enggan memandang wajahku. Tabiatku tak elok. Melawan orangtua, khianat kepada guru, bergauldengan orang tak benar, penyabu, dan maling. Sekolah luntang lantung tak beres. Berleha-leha ke warnet. Banyak sekali dosa-dosaku di masa muda. Sudah bodoh banyak dosa pula. Mungkin ini yang membuat hidupku bisa melarat seperti sekarang.

Sedih dengan kehidupan melaratku ini, iya. Tetapi yang lebih menyedihkan dari kehidupan melarat adalah saat ayah sudah tak mengingatku lagi. Menyakitkan. Di kepalanya yang teringat adalah Arya, Arya saja. Bermimpi dan mengigau pun tentang Arya.

Aku Bayu, anak bungsu yang sudah lenyap dari ingatan ayah yang mungkin sekarang tak tahu kalau aku pernah dilahirkan. Walaupun aku menghilang dari dunia ini pun ayah tak akan tahu dan sadar. Semua yang satu per satu pernah dibangun lambat laun hancur, menjadi debu, dan menghilang. Apa yang merupakan diriku, kulit sawo matang, mata hitam, bibir tebal, lekuk tubuh, sudah tak berwujud. Wujudku sekarang adalah wujud imaji yang ayah inginkan. Wujud Arya.

-****-

Tanjungbalai, 28 Maret 2021

Cinta Maulida Azbi

Mahasiswa program studi Gizi
Universitas Negeri Medan

admin
adminhttp://persmakreatif.com
Hai, ini saya Admin Persma Kreatif. Apakah kamu punya Pertanyaan dan Saran? Biarkan saya tau!, Kirimkan ke Email kami perskreatiftim@gmail.com atau Melalui Intagram @Persmakreatif

Related articles

Recent articles