Medan, Persma Kreatif — PPMI NASIONAL (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia) melakukan kegiatan ‘Bincang Advokasi’ dengan tema ‘Kekerasan Terhadap Pers Mahasiswa.’ Para narasumber memberikan tanggapan mengenai persoalan ini. Narasumber tersebut adalah Nining Rahayu yang merupakan salah satu Anggota Dewan Pers, Adil Al Hasan yang merupakan bagian dari PPMI Nasional, Sasmito Madrim dari AJI Indonesia, Dhiya Al Uyun dari KIKA, dan Prof. Ir. Nizam, M.Sc., DIC., Ph.D merupakan perwakilan Ditjen Dikti. Kegiatan dilakukan pada Kamis, (21/07) pukul 14.45 WIB secara online melalui Zoom Meeting dan Live Streming melalui Youtube.
Kegiatan ini dibuka oleh Inayah sebagai moderator yang berasal dari LPM Moderat. Inayah menyapa para narasumber dan menanyakan kepada narasumber yang pertama yaitu Nining Rahayu. Nining Rahayu menyampaikan tentang Perlindungan Terhadap Wartawan Oleh Dewan Pers berdasarkan UU Pers. Beliau juga menjelaskan apa perbedaan dan persamaan antara perusahaan pers dengan pers mahasiswa, serta menjelaskan skema perlindungan terhadap pers mahasiswa.
Narasumber selanjutnya, yaitu Adil Al Hasan menjelaskan mengapa kekerasan terhadap pers mahasiswa sering terjadi. Hal tersebut terjadi karena tidak adanya pengakuan secara tegas dari otoritas negara eksistensi pers mahasiswa. Kemudian karena adanya normalisasi represi di kalangan pers mahasiswa, akibatnya kekerasan atau represi terus berulang dan terjadi.
Adapun Sasmito Madrim, pemateri ketiga dari AJI Indonesia menerangkan bahwa perlindungan terhadap pers mahasiswa masih dianggap kurang. Hal itu disebabkan karena adanya anggapan bahwa jurnalis pers mahasiswa ini masih belajar atau kurang profesional. Kemudian regulasi pers juga masih belum melindungi pers mahasiswa. Lebih lanjut Sasmito menjelaskan bahwa bahwa pers mahasiwa sebenarnya juga bisa sejajar dengan jurnalis profesional jika memiliki 12 karya jurnalistik dalam 1 tahun dan mematuhi setiap kode etik jurnalistik.
Narasumber terakhir, Dhiya Al Uyun dari KIKA menegaskan bahwa tanpa adanya pers mahasiswa, kampus akan mati. Sebab, pers mahasiswa direpresentasikan sebagai bagian dari wujud kebebasan akademik. Kedudukan pers mahasiswa ini merupakan fungsi utama dalam menjaga marwah keilmuan kampus.
“Saat ini yang kita lihat, justru kebebasan akademik dimaknai hanya milik kampus dan bukan mahasiwa. Maka itulah yang menjadikan perbedaan persepsi mengenai kebebasan akademik, menjadikan penilaian bahwa mahasiswa sebagai pers tidak layak berdebat dan memberikan aspirasinya kepada kampus. Oleh karena itu saya akan membersamai terus bagaimana upaya pers mahasiswa. Untuk membuat budaya akademik yang baik dengan cara mediasi investigasi guna melakukan perbaikan lagi di dalam kampus,” tutupnya.
Kru : Al Miza Ginting dan Lidya Wulandari