Sampah menjadi permasalahan nomor satu yang sampai sekarang sulit untuk ditangani, khususnya Indonesia. Menurut Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia telah menimbun sebanyak 35 juta kilogram timbunan sampah pada tahun 2022. Hal ini juga menjadikan Indonesia sebagai negara penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Sampah kini bagaikan penyakit yang mengakar di tengah-tengah masyarakat.
Limbah pada mulanya berasal dari sampah rumah tangga yang dikumpulkan kemudian membentuk satu aliran limbah campuran. Limbah ini kemudian disalurkan ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) tanpa adanya tindakan lebih lanjut sehingga jutaan bahkan miliaran ton sampah menumpuk dan sebagian besar diantaranya tidak dapat terurai lagi. Tidak hanya limbah rumah tangga, sampah-sampah ini juga berasal dari limbah industri, baik itu limbah pada fase produksi pabrik, limbah hasil peternakan dan pertanian, dan juga limbah dari toko, pasar, maupun pusat perbelanjaan. Belakangan ini, pengaruh globalisasi menjadikan masyarakat semakin berperilaku konsumtif.
Semuanya ingin dilakukan secara instan, baik itu dalam hal membeli dan menggunakan barang. Tidak jarang barang yang dibeli hanya sekali pakai saja kemudian dibuang, tanpa memikirkan keberlanjutan dan dampak dari perilaku tersebut. Sebagian besar bencana alam seperti banjir dan longsor juga disebabkan oleh perilaku membuang sampah sembarangan. Selain itu sampah juga menyebabkan pencemaran di mana-mana, baik itu laut, daratan dan udara.Contoh yang paling konkrit yaitu pencemaran limbah plastik yang terjadi di laut dan kawasan pantai yang ada di Indonesia. Dilansir dari indonesiabaik.id, Indonesia berada di nomor dua sebagai penyumbang sampah plastik ke lautan di dunia (187,2 juta ton), setelah China yaitu 262,9 juta ton sampah. Hal ini jelas-jelas akan merusak ekosistem laut dan membunuh berbagai mikroorganisme di dalamnya. Hewan-hewan seperti mamalia laut, burung laut, dan ikan sudah banyak terbunuh diakibatkan oleh mikroplastik. Mikroplastik ini merupakan partikel-partikel kecil plastik berukuran 5 mm atau bahkan lebih kecil yang berasal dari sampah-sampah plastik berusia 10-20 tahun. Partikel inilah yang kemudian secara tidak sengaja dikonsumsi oleh biota laut sehingga menyebabkan ekosistem terganggu. Tidak hanya ekosistem, mikroplastik juga menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker, alergi, gangguan metabolisme, serta gangguan hormone pada manusia pada saat mengonsumsi hasil laut yang tercemar oleh mikroplastik.
Selain mikroplastik, TPA (Tempat Pembuangan Akhir) juga menjadi masalah besar di Indonesia. Menurut Nizar, dkk dalam jurnalnya “Manajemen Pengelolaan Sampah Kota Berdasarkan Konsep Zero Waste: Studi Literatur”, hanya sekitar 60%– 70% dari total sampah perkotaan yang dapat diangkut ke TPA oleh instansi pemerintah yang berwenang, sisanya sudah pasti tidak dapat dikelola dan pada akhirnya akan menimbulkan pencemaran. Indonesia memang sudah menerapkan beberapa metode pengelolaan akhir sampah seperti open trench dumping, open dumping, dumpin on the sea, serta sanitary landfill.
Namun tidak sedikit dari beberapa wilayah di Indonesia masih menerapkan metode open dumping, dimana sampah ditumpuk dan dikumpulkan dalam lahan terbuka. Hal ini tentu akan menyebabkan perumbuhan bibit penyakit dan pencemaran udara. Untuk mengatasi kekurangan metode tersebut, maka diterapkanlah metode sanitary landfill, dimana sampah ditimbun dalam galian tanah yang cukup besar kemudian dipadatkan menggunakan bulldozer.
Meskipun dinilai efektif, metode ini juga masih menyebabkan emisi lindi yang mengandung polutan dan gas rumah kaca.Terkait dengan metode sanitary landfill, dosen biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengerahuan Alam, Universitas Negeri Medan, Puji Prastowo, beranggapan bahwa metode ini sebaiknya diterapkan pada sampah organik. “Kalau sampah organik ditimbun dalam tanah maka itu tidak masalah karena itukan jadi hancur dan mengalami dekomposisi, yang jadi masalah jika bukan sampah organik, contohnya plastik dan sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) kalau ditimbun dalam tanah maka akan sulit terurai dan ketika hujan akan terserap dan terlarut oleh air, itu akan menjadi air tanah, air tanah itu digunakan oleh masyarakat dan tentunya akan membahayakan kesehatan. “ pungkasnya pada saat sesi wawancara.Oleh sebab itu, berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, kita membutuhkan solusi yang dapat menyelamatkan ekosistem serta keberlangsungan hidup kita di masa depan. Solusi tersebut ialah penerapan gaya hidup zero waste. Menurut Robin Murray dalam artikelnya yang berjudul “zero waste” menyatakan bahwa zero waste pada mulanya merupakan metodologi yang bertujuan untuk menghilangkan limbah dengan memulihkan siklus material dan biologis.
Tahapannya dimulai dari mengidentifikasi asal-usul limbah, menemukan cara inovatif untuk menguraiinya, serta menggunakan kembali atau mendaur ulang apa yang tidak dapat dicegah. Secara Bahasa, zero waste memang diartikan sebagai “menihilkan sampah”. Jika ditelaah dari artian tersebut, sangat tidak mungkin bagi kita untuk mengosongkan atau menihilkan sampah dari bumi. Sudah pasti manusia tidak akan luput dari yang namanya sampah.
Zero waste merupakan suatu perilaku yang menuntun kita untuk menjadi konsumen yang bijak serta mampu mengoptimalkan siklus sumber daya agar produk-produk yang telah digunakan tidak habis pakai atau bisa digunakan kembali. Hal ini bertujuan agar sampah tidak berakhir di landslide TPA yang memicu terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global. Zero waste juga sering disalahartikan dengan kegiatan mendaur ulang sampah. Lebih dari itu, menurut Bea Johnson dari Zero Waste Home, zero waste terdiri dari enam tahapan (6R) , yaitu Rethink, Refuse, Reduce, Reuse, Recycle, dan Root. Rethink, Refuse, dan Reduce merupakan tahapan pencegahan dan sisanya yaitu tahapan penanggulangan. Meskipun terbilang sulit, zero waste juga dapat diterapkan dari hal yang paling sederhana, yaitu diri sendiri. Berikut beberapa langkah-langkah yang dapat kita lakukan dalam memulai gerakan zero waste, yaitu:
Rethink (Memikirkan Kembali) Kegiatan ini dimulai dengan memikirkan kembali dan menanyakan pada diri sendiri apakah kita sudah menjadi konsumen yang bijak. Langkah awalnya bisa dimulai dengan memilah barang yang akan dibeli, mengupayakan barang tersebut dapat digunakan kembali atau dimanfaatkan menjadi barang lain apabila sudah habis pakai.
Refuse (Menolak)Pada tahap ini, kita harus menolak untuk menggunakan barang-barang yang dapat menimbulkan sampah berlebih seperti plastik sekali pakai dan sedotan plastik. Contohnya, ketika berbelanja di supermarket, pasar, ataupun pusat perbelanjaan, ada baiknya kita menolak untuk menggunakan kantongan plastik dan membawa goodie bag atau tote bag berbahan kain atau kanvas dari rumah yang dapat digunakan beberapa kali. Kemudian sedotan plastik dapat diganti dengan sedotan berbahan stainless steel.
Reduce (Mengurangi)Kita harus mulai mengurangi apa yang ada di rumah kita, apapun itu yang tidak membawa nilai bagi kehidupan kita. Dengan menerapkan prinsip ini, selain membantu menghemat energi, juga dapat membantu menenangkan serta membawa kedamaian bagi hati.Reuse (Menggunakan Kembali)Mulai menggunakan kembali apa yang ada dirumah, sebisa mungkin menggunakan ulang barang-barang seperti botol kaca, plastik, kertas, dan lain-lain. Namun jika diharuskan untuk membeli, maka sebaiknya membeli barang-barang yang reuseable.
Recycle (Mendaur Ulang)Mendaur ulang dengan memilah sampah seperti kertas, botol, dan memiliki nilai ekonomis serta memiliki nilai ekonomis dan apabila dibuang ke TPA akan berpotensi menghasilkan racun atau bersifat toksik, jika didistribusikan ke bank sampah maka akan menghasilkan barang yang baru.
Root (Pembusukan)Sekitar 60% sampah di TPA adalah sampah organik, apabila kita bisa memilah sampah tersebut, maka kita akan berkontribusi dalam mengurangi sampah di TPA. Contoh penerapannya yaitu dengan mengolah sampah dapur menjadi pupuk kompos yang dapat menyuburkan tanaman. Mengenyampingkan peran pemerintah, kita sebagai masyarakat juga dapat berkontribusi dalam menanggulangi sampah. Sebagaimana yang disampaikan oleh Puji Prastowo, dosen biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Medan, beberapa hal sederhana yang dapat kita lakukan yaitu yang pertama memilah sampah, mana yang bisa dimanfaatkan dan mana yang bisa di jual.
Yang kedua mengurangi penggunaan bahan-bahan yang sulit untuk terdegradasi, menghilangkan budaya membuang sampah sembarangan, membuang sampah sesuai pada tempatnya, dan yang terakhir membeli serta menggunakan barang sesuai kebutuhan. Menihilkan sampah terlihat seperti hal yang mustahil, begitupun dengan menghilangkan budaya penggunaan plastik. Namun sebagai masyarakat, kita dapat mengubah pola hidup ini. Yang paling sederhana yaitu dimulai dari kesadaran diri sendiri dan niat untuk berubah. Jika jutaan orang sudah memilih untuk peduli, bisa dibayangkan seberapa besar perubahan yang terjadi, seberapa sehat manusia Indonesia di masa mendatang, tanpa tumpukan sampah, tanpa ekosistem yang rusak, dan tanpa pencemaran dimana-mana.
Kru: Salamah & Gracia