Melihat dan meninjau lebih jauh perihal situasi anyar atau peristiwa-peristiwa yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik, tentu beragam dan memunuhi segala aspek dunia virtual. Mulai dari beberapa media yang melacurkan diri dengan menyebar berita hoax demi rating, diusungnya kuliah daring, anak penjual jalangkote yang menjadi korban bullying, aksi kolot prank seorang youtuber terhadap transpuan yang booming, UU minerba yang diam-diam disahkan tanpa korting, tagar #Indonesiaterserah dari kecewanya baris terdepan yang viral di daring, hingga dekonstruksi new normal yang mencuat dan berdesing. Hal-hal tersebut merupakan segala sesuatu yang tentunya menarik atensi kita selaku masyarakat yang masih berdomisili di negeri tercinta. Meski semua serba daring, namun kemajuan teknologi tak dapat memastikan dengan lugas bahwa sistem berpikir kita juga mengalami kemajuan yang signifikan dalam ranah apapun.Corona Virus Disease-19 (Covid-19) ternyata masih menjadi musuh berbagai kalangan.
Perekonomian yang tidak stabil, beberapa masyarakat yang labil, resah gelisah yang andil, atau jangan memaksa tulisan ini untuk mengungkapkan bahwa betapa riangnya segerombolan orang memadati pusat perbelanjaan untuk memborong pasok pangan, baju lebaran, atau berbagai macam dalih yang mereka suarakan sebagai suatu kepentingan. Virus Corona mengubah cara pandang sebagian besar manusia, namun sebagian besar manusia belum mampu mengubah cara pandang corona menyerang ke pihak yang mana. Kalau sampai corona memandang privilese manusia, bisa gawat sih. Bisa-bisa tidak hanya drummer Superman is dead yang terang-terangan mendukung teori konspirasi, namun vokalis, gitaris, bahkan basist juga mungkin saja menyuarakan hal yang sama. Siapa yang tahu pasti? Kita tidak bisa mengontrol spekulasi seseorang bukan? Meskipun apa yang diungkapkan hanya sebatas landasan subjektif yang entah sampai kapan menemukan kerangka objektifnya. Sebab, kebenaran terkait hal yang bersangkutan masih berupa setumpuk tanda tanya.
Mengutip perkataan Gubernur Sumatera Utara Bapak Edy Rahmayadi pada video singkat sebelum berbuka puasa di salah satu stasiun televisi, ia mengungkapkan bahwa bulan ramadhan kali ini (lebaran juga sih) adalah bulan yang istimewa karena hadir di saat pandemi. Secara pragmatis, beliau mengungkapkan agar kita senantiasa tetap mempertahankan atau meningkatkan iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa meskipun dalam keadaan yang kalut-marut ini. Namun, apa jadinya jika yang kita pertahankan dan tingkatkan justru kebiasaan-kebiasaan manusiawi kita terkait kemalasan belajar? Nah, jika kita berbicara mengenai kemalasan, tentu hal tersebut sangatlah perspektif. Apalagi batasan-batasan baku dari kemalasan. Salah seorang dosen antropologi mengatakan bahwa semua jawaban (termasuk esensi malas) punya landasan kebenaran masing-masing yang bersifat subjektif. Tentu, apa yang dikatakan benar mengenai suatu esensi, pada akhirnya terbentur pada masing-masing kepala kita.
Universitas Negeri Medan sebentar lagi akan melaksanakan Ujian Akhir Semester (UAS) yang tentunya dilakukan secara daring juga. Menyoal beberapa waktu lalu saat aktif perkuliahan, tentu privilese kuliah daring memiliki kedudukan alternatif yang sungguh efisien. Dimana kita memang harus melaksanakan kuliah meskipun keadaan (pandemi corona) cukup membuat kita lelah. Perkuliahan berjalan seperti biasa, seperti presensi, presentasi, diskusi, dan kesimpulan ‘manis’ dari seorang dosen. Dari WhatsApp Group misalnya. Ketika memulai perkuliahan, di awal atau di akhir tentu mahasiswa berbondong-bondong untuk melakukan presensi/absen. Namun, setelah itu? Setelah diskusi dimulai? Apakah entitas antusiasme saat mengabsen sama dengan antusias saat diskusi/presentasi dimulai? Atau jangan-jangan hanya melakukan presensi saja tanpa mengikuti perkuliahan, lalu saat diskusi mau habis baru deh read group? Juga, giliran dosen yang mengimbau, mengucapkan konklusi manis, memberi tugas, dan berpamitan, beberapa mahasiswa berbondong-bondong dan tentunya dengan tangan yang lincah mengetik di discussion room “Baik Pak/Baik Bu, Siap Pak/Siap Bu.” Jika kita seperti itu, dapatkah beberapa dari kita menjamin bahwa kita mendapatkan ilmu dari mata kuliah tersebut secara masif?
Tentu privilese kuliah daring harus kita manfaatkan dengan sebaik mungkin. Namun, bukan berarti kita justru abai terhadap virtual discussion bukan? Justru saat pandemi seperti inilah kita senantiasa harus stay in discussion sebab akses informasi maupun diskusi yang sentral sedikit terbatas kita dapatkan. Apalagi jika kita belum paham mengenai suatu bahasan substantif terkait mata kuliah, alangkah baiknya ditanya dan didiskusikan bersama dengan rekan-rekan dan dosen toh? Sebaiknya, entitas antusiasme saat presentasi harus melebihi antusias kita yang sering menjawab “Baik Pak, Baik Bu.” Apakah beberapa dari kita mau menghabiskan kuliah daring ini hanya untuk memaparkan jawaban-jawaban manis seperti itu? Apakah dengan mengucapkan Baik Pak/Bu, memenuhi tuntutan KKNI, dan menuliskan absen mampu merepresentasikan esensi kuliah virtual secara masif? Mungkin, tulisan ini akan menyerahkan sepenuhnya jawaban tersebut kepada tindak pikir anda. Apalagi jika yang saat ini mengamalkan kuliah daring merupakan mahasiswa yang duduk di bangku semester 4 dan 6. Yang secara esensial merupakan kedudukan dimana kita harus berpikir matang-matang bahwa mata kuliah-mata kuliah yaang menjadi pisau bedah saat skripsi justru banyak berdomisili pada semester tersebut. Jika kita abai, dimana letak privilese kuliah daring itu? Atau apa yang anda katakan privilese kuliah daring adalah saat anda mampu mengelabui dosen dengan tak mengikuti sepenuhnya diskusi kelas?
Beruntung jika suasana kelas aktif dan terlibat diskusi secara komprehensif, namun beberapa mahasiswa perwakilan kelas juga banyak yang mengeluh soal rekan-rekannya yang justru tak menaruh atensi dalam diskusi. Termasuk perwakilan mahasiswa-mahasiswa yang tersebar di pelbagai fakultas. Salah satunya adalah mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni. “Mahasiswa yang melaksanakan kuliah daring ada sisi negatifnya, dimana tidak sedikit mahasiswa yang sekadar mengisi presensi (apalagi dari WhatsApp Grup) dan hanya aktif saat membalas pesan ‘Baik Pak/baik Bu’ hingga tak mengikuti perkuliahan secara utuh, artinya setelah presensi ya langsung hilang.” Pungkasnya. Namun di samping keluhan tersebut, suasana kelas yang aktif dan menjalankan bagaimana layaknya esensi perkuliahan juga banyak. Bahkan, perkuliahan benar-benar menghasilkan diskusi komprehensif. “Alhamdulillah suasana kelas sangat aktif melalui pembelajaran daring. Bahkan pembelajaran daring tersebut yang justru menghadirkan pertayaan-pertanyaan yang banyak daripada tatap muka seperti biasa, mungkin karena beberapa masih malu-malu. Jadi, privilese kuliah daring cukup terasa, sih.” Ungkap salah seorang Mahasiswa Ilmu Pendidikan.
Mungkin jika beberapa dari kita tak menaruh atensi terhadap perkuliahan, bisa saja apa yang kita dapatkan atau ilmu yang kita peroleh mengalami dekadensi. Hingga pada akhirnya beberapa mengeluh karena tidak paham materi dan merasa kesulitan. Memperbaiki sikap dalam kuliah jenis virtual seperti ini rasanya adalah solusi yang tepat untuk memperbaiki sistem berpikir dan diskusi yang komprehensif.