2.1 C
New York

ALERTA, ALERTA! KONSTRUKSI SOSIAL VS KODRAT

Published:

Menikmati segelas teh yang diseduh dengan takaran gula yang pas membuat beberapa dari kita berdecak nikmat meskipun pada beberapa kasus banyak orang yang tak menyukai teh. Atau bahkan kita harus memutar otak sebanyak tiga belas kali untuk benar-benar menyesuaikan dengan lidah kebanyakan orang tentang nikmatnya rasa kopi yang mungkin akhir-akhir ini menjadi objek standar konformitas tertentu. Baik itu unjuk eksistensi selera, penyesuaian terhadap lingkungan yang ada, memenuhi tuntutan kekinian, atau bahkan pure menyukai minuman berkafein tersebut tanpa embel-embel yang berarti. Hingga pada persimpangan esensi kita dapat menemukan sebuah fakta sosial bahwa selera masyarakat dapat berubah tergantung pada tingkah laku sosial yang turut berkembang pula.

Jika Bill Gates mengatakan bahwa hidup ini kejam jadi kita harus beradaptasi, maka dengan penuh keyakinan yang sungguh saya juga menumbuhkan persepsi bahwa hidup tak semanis jika kita mengatakan kepada seseorang, “Bagaimana jika aku mengatakan bahwa aku mencintaimu?” dan dibalas orang yang bersangkutan dengan pertanyaan, “Bagaimana jika pada saat ini aku juga mengatakan hal yang serupa?”

Hidup dalam beberapa tekanan sosial kadangkala membuat kita berpikir, apakah dunia berputar dengan sebaik-baiknya pemutaran? Apakah kesempatan berjalan dengan sebaik-baiknya kesempatan yang pernah disempatkan? Atau ada yang berpikir bahwa hidup barangkali hanya seputar saya menikmati susu dan anda menikmati dot bayi lalu kita besar bersama-sama dengan menunggangi jabatan tertentu? Semua pertanyaan itu tentunya memiliki skala irasional tersendiri. Ada yang mengingkari dan ada yang menjustifikasi, tergantung beberapa pihak yang sebenarnya berpikir dibatas keraguan atau jernih. Apalagi jika dihadapkan pada suatu hal berbasis fundamental. Saya rasa beberapa dari kita pernah menemukan suatu statement yang langsung divonis secara kolektif bahwa hal tersebut termasuk pada golongan hal fundamental nan substansial? Sering bahkan, ya? Apakah dengan seenak jidat kita menghimpun respon apatis dan menganggap hal tersebut sebagai peristiwa yang sehat? Saya rasa sudah sebaiknya kita berkunjung sebentar ke klinik kesehatan memeriksa kinerja otak apakah telah menugaskan diri menjalankan program kerjanya dengan baik. Itu merupakan tindakan paling manusiawi yang harus kita lakukan sebenarnya.

Berangkat pada realitas masyarakat. Nyatanya sebagian dari kita masih terjebak pada esensi kodrat dan konstruksi sosial. Apa yang dikatakan sebagai kodrat? Disini barangkali saya tak mengedepankan ego seperti seekor kera yang tak ingin memberikan dua buah pisang kepada rekannya meskipun ia memiliki setundun. Kembali pada realitas, kodrat memiliki esensi yaitu suatu filosofi yang menyatakan hak-hak tertentu melekat sebagai konsekuensi dari manusia dan dapat dipahami secara universal melalui daya pikir atau akal manusia. Dengan kata lain kodrat merupakan kekuasaan (Tuhan).  Dalam hal ini, saya menarik statement namun tidak berlandaskan subjektivitas yang kental. Bisa dibilang basisnya intersubjektif atau bahkan objektif yang secara aksiomatis mampu berterima dengan tindak pikir kolekif. Bahwa kodrat merupakan suatu gagasan atau statement alamiah yang sifatnya fundamental atau murni diprakarsai oleh hal-hal yang sangat mendasar yang tak dapat diganggu gugat oleh kepercayaan kolektif yang melibatkan gagasan, suara, ideologi, konsensus atau persepsi kelompok –katakan mayoritas dalam konsentrasi yang relatif tinggi.

Namun, beranjak pada fakta yang beredar. Bahwasanya, apa yang dikatakan “kodrat” seakan mengalami perluasan makna leksikal. Atau dengan naifnya sebagian masyarakat mengungkap hal yang secara esensial bahwa kodrat memiliki definisi yang serupa dengan yang dikatakan konstruksi sosial. Dalam hal ini ditemukan adanya kesenjangan berpikir. Antara masyrakat dengan sengaja memukul rata persamaan esensi keduanya atau benar-benar dilanda ketidaktahuan kolektif sehingga pemahaman bahwa kodrat serupa dengan konstruksi sosial semakin terus dan terus berkembang hingga tak berkesudahan. Dalam konteksnya, konstruksi sosial muncul karena adanya peristiwa konsensus yang secara tidak langsung menumbuhkan dan membentuk suatu nilai bernama standard society. Jika kita berbicara mengenai konstruksi sosial, maka cenderung terlalu naif jika kita mendudukkannya pada definisi fundamental. Konstruksi sosial ada dan memiliki sifat tradisi (dapat dikatakan turun-temurun) karena pastinya konstruksi sosial menyangkut masalah sekompleks persepsi kelompok, atau bahkan     norma sosial. Namun, terjadi hal yang kontradiksi antara interpretasi masyarakat dan esensi konstruksi sosial.

Bermain dalam analogi dan indikasi sederhana. Kita seringkali terjebak pada beberapa definisi yang sebenarnya adalah bentuk konstruksi masyarakat, bukan justru kodrat atau kebenaran yang hakiki. Kita sering keliru membedakan mana yang benar dan mana yang berseberangan terhadap sistem nilai. Banyak yang mengatakan bahwa kodrat seorang perempuan adalah lembut, anggun, jago masak, feminin, dan sebagainya. Begitu juga dengan laki-laki. Tak sedikit yang mengatakan bahwa kodrat seorang laki-laki adalah gagah, perkasa, menjadi pemimpin, tahu urusan mekanik, serta setan-setannya yang lain. Nah, kedua statement maupun spekulasi diatas tampaknya membentuk konsensus kolektif bahwa untuk menjadi perempuan dan laki-laki haruslah memenuhi syarat atau standar tersebut. Namun yang naifnya, dengan berdiri diatas bendera asumsi mentah yang sama, beberapa masyarakat meyakini dan mengatakan dengan sangat sungguh bahwa hal tersebut adalah kodrat. Ya, kodrat! Kembali pada pijakan esensi yang secara afirmatif telah disebutkan. Tentunya, cenderung terlalu tak berterima dan berseberangan ketika hal tersebut dijustifikasi masyarakat sebagai suatu kodrat Dalam hal ini, konstruksi sosial serupa dengan entitas yang diperlukan guna menghargai persepsi kolektif. Jadi, konstruksi sosial ada dan dianggap sebagai keberaturan sistem nilai (masyarakat) yang benar-benar sangat benar.

Kembali pada contoh diatas, kodrat memiliki konteks kebenaran yang fundamental (karena sifatnya yang alamiah). Namun, konstruksi sosial hadir dan berseberangan terhadap prinsip kodrat yang tak mampu diganggu gugat. Seseorang dapat mempercayai, menganut, dan menjustifikasi suatu hal hanya karena “banyak (mayoritas) masyarakat yang bersuara apa” dan mereka anggap perilaku demikian sebagai suatu kebenaran. Nah, dalam hal ini masyarakat membentuk pola pikir yang kurang tersistem. Dalam ilmu psikologi, terdapat hukum tak tertulis yang masih jarang diketahui oleh manusia. Hukum tersebut mengatakan bahwa abnormalitas dipicu dengan abnormalitas lainnya. Sebagai contoh pemahaman kolektif mengenai prinsip gender yang telah disebutkan diatas. Hanya karena sebagian besar laki-laki memiliki perangai yang gagah, bersuara berat, tahu urusan mekanik, serta memenuhi standar maskulinitas yang ada, lantas masyarakat meyakini itu sebagai ciri khas yang wajib dipenuhi seorang lelaki. Alhasil, masyarakat yang lain mencontoh dan menerapkan hal yang sama. Pemahaman maupun konstruksi tersebutlah yang menjadi pemicu abnormalitas terjadi. Pemicu abnormalitas terdiri dari dua faktor, yaitu faktor eksternal yang meliputi lingkungan, kultur, maupun keadaan masyarakat, serta faktor internal seperti genetik dalam diri manusia (pelaku). Lantas, pertanyaan besar nan kontradiksi terhadap konstruksi sosial tersebut muncul.  Jika kita menemukan seorang laki-laki yang tak memenuhi standar atau konstruksi yang disepakati tersebut, lantas ia tak dapat digolongkan sebagai seorang laki-laki meskipun ia memiliki jakun, penis, sperma, atau bahkan testis? Apakah sebagian masyarakat tak ingin mempertimbangkan faktor genetis? Dan apakah masyarakat semunafik itu memberikan definisi kebenaran yang fundamental berdasarkan norma masyarakat? Kembali kepada diri sendiri. Sepertinya beberapa dari kita sudah sangat dewasa untuk membedakan mana yang disebut kodrat dan mana yang disebut konstruksi sosial tanpa memberi tuntutan khusus terhadap kenyataan yang ada. Kita tidak dapat memvonis suatu kodrat sebagai konstruksi sosial, begitu juga dengan kita yang tidak bisa menyebutkan bahwa yang sebenarnya konstruksi sosial justru diyakini sebagai kodrat. Pandai-pandailah dalam bersikap. Alerta!

Related articles

Recent articles